Atas Nama Pengadaan Tanah Untuk Kemudahan Investasi, Omnibus Law Cipta Kerja Bahayakan Petani dan Masyarakat Adat

Pernyataan Sikap dan Tinjauan Kritis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja

Seruan penolakan Omnibus Law yang bakal merugikan petani dan masyarakat adat

Jakarta, 20 Februari 2020

Pemerintah merumuskan Visi Indonesia Maju 2045 sebagai langkah strategis menjadikan Indonesia sebagai 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045. Untuk mewujudkannya, pemerintah mengharapkan adanya “gelombang investasi” untuk mempercepat proses pembangunan. Akan tetapi tumpang-tindih dan ketidakharmonisan undang-undang (UU) sektoral menjadi hambatan utama untuk menciptakan iklim berinvestasi yang ramah bagi para investor.

Atas dasar itu lah, deregulasi dan debirokrasi perlu dilakukan. Banyak peraturan perundang-undangan (UU) hendak dipangkas, dirubah, bahkan perlu membuat norma baru (yang belum ada UU sebelumnya) melalui satu UU sekaligus yang dipopulerkan dengan nama Omnibus Law. Bus Omni ini dianggap akan menciptakan iklim investasi yang ramah melalui langkah penyederhanaan perizinan, kemudahan persyaratan, dan proses yang dipercepat bagi pelaku bisnis (domestik dan asing) di Indonesia.

Gagasan Omnibus Law ini bukanlah hal baru. Tercatat, pemerintah pernah menghembuskan gagasan ini ke publik pada tahun 2017. Kemudian, masih kuat dalam ingatan kita pada September 2019 Pemerintah dan DPR RI gagal mengesahkan ragam RUU dan revisi UU, termasuk RUU Pertanahan setelah menuai gelombang protes dari masyarakat luas. Sebulan kemudian, Omnibus Law mulai intensif disuarakan pemerintah. Dalam pidato resminya (20/10/2019), Presiden RI saat pelantikan presiden terpilih di Gedung DPR RI mengkonfirmasi kembali rencana dan keperluan pemerintah membuat Omnibus Law, sekaligus meminta dukungan politik dari DPR RI. Petikan pidatonya sbb.: “Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU…..”.

Akhirnya, pada 12 Februari 2020 pemerintah menyerahkan draft Omnibus Law atau RUU Cilaka dengan nama resmi RUU tentang Cipta Kerja. Tidak tanggung-tanggung, sebagai UU besar dengan ambisi besar “bus” ini mengangkut sekaligus 79 UU yang dibagi ke dalam 11 kluster materi untuk dihapus, dipangkas dan atau direvisi.

Sejak awal RUU Cipta Kerja memang diarahkan untuk memperkuat perusahaan dan investor skala besar. Patut disayangkan karena proses perumusannya yang tertutup, tergesa-gesa, termasuk mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudent) di dalam merumuskan perubahan ratusan pasal dari macam-macam UU tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya yang pasti muncul. Perumusannya yang melibatkan elit bisnis dan akademisi pro-modal juga sungguh disayangkan.

Dalam RUU Cipta Kerja kesulitan memperoleh tanah digadang-digadang sebagai salah satu hambatan berinvestasi di Indonesia. Pembangunan berbasis agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur menjadi bagian dari sasaran RUU Cipta Kerja. Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh di Indonesia. RUU juga akan membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup dari petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) setidaknya menemukan 5 (lima) masalah pokok RUU Cipta Kerja terkait agraria yang akan bahayakan petani dan masyarakat adat, menghambat realisasi reforma agraria dan memperparah konflik agraria structural di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai dan dikritisi bersama, yaitu:

1. RUU Cipta Kerja memasukan substansi kontroversial RUU Pertanahan

Materi-materi kontroversial RUU Pertanahan (RUUP) disusupkan di RUU Cipta Kerja. Sebagaimana kita tahu, RUUP pada September 2019 lalu menuai protes dan penolakan dari kalangan masyarakat sipil termasuk KPA. RUUP resmi ditunda pengesahannya oleh DPR RI. Kemudian masuk kembali menjadi prioritas Prolegnas 2020. Ternyata RUUP pun ikut diangkut oleh RUU Cipta Kerja sebagai norma baru yang perlu disusun. Masalah RUUP sebagai norma baru dalam RUU Cipta Kerja adalah sebagai berikut.

a.  Hak Pengelolaan (HPL) Sebagai Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN)

Tidak ada hak pengelolaan (HPL) dalam UUPA 1960, HPL telah menimbulkan kekacauan penguasaan tanah, karena merupakan wujud penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN). Padahal, HMN telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 bahwa HMN berarti kebijakan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan yang mengacu pada Pasal 33 Ayat 3, dan bukan berarti Negara memiliki tanah. Lucunya, HPL seolah tak beda jenis hak baru. Melalui RUU Cipta Kerja (Ps.129), HPL diterjemahkan semakin menyimpang; sebagai pemberian jenis hak di atas tanah negara melalui HPL pemerintah seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein verklaring jaman kolonial, yang secara tegas sudah dihapus dalam UUPA 1960. HPL menjadi jenis hak baru yang begitu kuat dan luas, karena dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, Badan Hukum yang ditunjuk pemerintah termasuk dikelola oleh Bank Tanah (BT), HPL juga dapat dikerjasamakan dengan pihak ke tiga. Parahnya, HPL dapat diberikan 90 tahun, lalu di atas HPL dapat diterbitkan HGU, HGB dan HP bagi investasi.

b.  Lagi-lagi Keistimewaan Hak Guna Usaha (HGU) dan hapusnya sanksi “tanah terlantar”

Melalui RUU Cipta Kerja, rumusan HGU dapat dipastikan akan memperparah situasi ketimpangan dengan: (1) Memberikan banyak keistimewaan pada korporasi dengan memberi masa berlakunya HGU selama 90 tahun secara langsung sejak permohonan awal; (2) Menghapus pasal 16 UU Perkebunan, tentang kewajiban perkebunan untuk megusahakan lahan perkebunannya dan menghapus sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya; (3) Dengan dihapusnya pasal 16 UU Perkebunan maka hal ini berpotensi menghilangkan status tanah terlantar yang merupakan salah satu syarat hapusnya HGU dalam UUPA: (4) Hal ini mengandung banyak agenda terselubung kelompok pengusaha perkebunan skala besar dalam penguasaan tanah, termasuk memberi peluang kepada pemerintah (pejabat menteri) untuk melakukan praktik kolusi dan korupsi bersama pengusaha perkebunan dalam proses pemberian HGU; (5) Dengan hilangnya status tanah terlantar maka berpotensi menghambat pelaksanaan reforma agraria dari wilayah perkebunan, mengingat salah satu obyek prioritas reforma agraria bagi rakyat adalah tanah-tanah (perkebunan) yang banyak diterlantarkan perusahaan.

c.  Masuknya Agenda Pembentukan Bank Tanah dan Penyimpangan Reforma Agraria

Sebelumnya wacana pembentukan lembaga Bank Tanah menjadi salah satu misi utama dalam RUU Pertanahan. Selain mendapat penolakan dari publik, sejak awal KPA menolak rencana pembentukan Bank Tanah ini. Ternyata RUU Cipta Kerja memasukan kembali agenda Bank Tanah (BT). Dalam naskah akademik (NA) dinyatakan bahwa sebagai norma baru, alasan pembentukan BT adalah dalam rangka mempercepat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur. sejak awal semangat BT lebih berorientasi mendorong pasar tanah bebas untuk mendukung kebutuhan pengadaan tanah bagi kepentingan investasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, pariwisata, bisnis properti, pembangunan infrastruktur yang bersifat lapar tanah. BT adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya berasal dari APBN bahkan dapat berasal dari penyertaan modal, kerjasama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber lainnya.

Dengan orientasi semacam itu, anehnya dalam RUU Cipta Kerja dilaim bahwa salah satu tujuan pembentukan BT adalah untuk kepentingan Reforma Agraria. Ini bentuk penyimpangan sekaligus penghianatan terhadap reforma agraria. Bagaimana mungkin tujuan reforma agraria bagi keadilan sosial dapat disandingkan dengan tujuan liberal BT.

Semakin parah, sumber Bank Tanah adalah HPL, dapat dipastikan berapa luas klaim-klaim tanah negara di-HPL kan untuk dikelola BT. Selain menyimpangkan RA, jika dibentuk, BT justru akan memperparah situasi ketimpangan, konflik agraria, serta mempermudah proses-proses perampasan tanah (land grabbing) atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, sekaligus menyuburkan praktek mafia tanah dan spekulan tanah.

d. Masalah Hak Milik Sarusun untuk Investor Asing

Rencana perumusan ulang hak milik atas satuan rumah susun (sarusun) di RUUP dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja sebagai “norma baru”. Ini mengulangi kontroversi yang sama di RUUP tahun lalu. Merujuk pada UUPA 1960 hanya dikenal hak milik. Di sisi lain telah ada UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun, yang sama sekali tidak dijadikan acuan oleh NA maupun RUU Cipta Kerja. Dalam hukum pertanahan tidak bisa dibenarkan jika rumusan ulang hak milik rasusun diklaim sebagai bentuk norma baru.

Mengacu pada UUPA, hanya WNI yang memiliki hak milik atas tanah, WNA hanya diberikan hak pakai dan hak sewa. Sementara dalam UU Rusun, WNA diberikan hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS). Namun UU Rusun menyatakan bahwa kepemilikan WNA atas sarusun tetap merujuk kepada pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam UUPA. Berdasarkan UUPA WNA hanya diperbolehkan memiliki hak pakai. Dengan begitu, sesungguhnya hak milik rasusun adalah bentuk lain hak pakai.

Masalah lainnya, mekanisme penerbitan Hak Milik Sarusun begitu luas di dalam RUU Cipta Kerja: (a) Rusun dapat dibangun di atas tanah: (a) HGB atau HP di atas tanah negara; (b) HGB atau HP di atas HPL. Celakanya, mekanisme HGB bagi rusun dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya, setelah mendapatkan sertifikat laik fungsi. Tanpa batasan waktu, seolah hak dapat berlangsung selamanya.

Mempertimpangan ketimpangan agraria yang ada, sebaiknya RUU Cipta Kerja tidak mengabaikan begitu saja keterkaitan norma hukum yang telah ada sebelumnya, yaitu di UUPA 1960 maupun UU Rusun. Baik RUUP dan RUU Cipta Kerja penting berhati-hati dalam hal ini, mengingat keduanya menginginkan hak milik sarusun tidak hanya bagi WNA (individual), bahkan memperbolehkan pula bagi badan hukum asing, Tentu ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat miskin yang belum memiliki jaminan atas tanah atau pun hak milik sarusun.

2. RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia

Catatan Akhir Tahun KPA (2019) mencatat di tahun 2019 saja terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektar yang berdampak pada 109.042 KK. Selama 5 tahun tahun terakhir telah terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti. Sementara ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, artinya 1 % penduduk menguasai 68 % tanah di Indonesia. Apabila disahkan RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi krisi agraria di atas, sebab:

a.  Kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis dalam RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan konflik agraria, ketimpangan dan kemiskinan struktural.

b. RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah. Mengenai perubahan terhadap Pasal 14 dan penghapusan pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 39/2014.

c.  Proses pengukuhkan kawasan hutan hanya menggunakan pendekatan penggunaan teknologi informasi dan satelit, tanpa melibatkan masyarakat atau pemerintah desa dan mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan. Hal ini akan mempermudah proses perampasan tanah masyarakat adat dan petani yang berada di pinggiran atau dalam klaim kawasan hutan.

3. RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis

RUU Cipta Kerja hendak merubah pasal-pasal dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Demi Kepentingan Umum dengan dasar argumentasi hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis. Ini mengandung sejumlah persoalan:

a.  Pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus diperhitungkan dampak sistemik degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi dan masyarakat terdampak.

b. Pemerintah menambahkan kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus ke dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, agar proses pengadaan tanah semakin mudah.

c. Meningkatkan peran swasta dalam pengadaan tanah. Dalam prakteknya banyak proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian yang dijalankan secara tidak transparan dan berkeadilan oleh pemerintah dan pemilik proyek. Meningkatkan peran dan kewenangan swasta hanya akan semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan ancaman pengukuran dan penggusuran paksa, atau menjadi korban korupsi dan manipulasi dalam tahap-tahap proses pengadaan tanah. Kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik.

d. RUU Cipta Kerja memudahkan proses pengadaan tanah dengan berdasarkan “penetapan lokasi” suatu pembangunan proyek pemerintah, dimana AMDAL, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan dan luar kawasan pertambangan, di luar kawasan gambut/sepadan pantai dan kajian dampak ekonomi-sosial masyarakat tidak perlu dipenuhi oleh perusahaan yang memerlukan tanah.

e. Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosenya dititipkan di Pengadilan Negeri. Sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat.

4. RUU Cipta Kerja Mempercepat Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia

Tanah pertanian dan jumlah petani akan semakin menyusut. Demi investasi non-pertanian RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi. Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia. Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja saja, tercatat dalam 10 tahun (2003 – 2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian per menitnya 0.25 hektar dan 1 (satu) rumah tangga petani hilang – terlempar ke sektor non-pertanian. Terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6 % menjadi 4,9 %, guremisasi mayoritas petani pun terjadi dimana 56 % petani Indonesia adalah petani gurem. Menurut laporan Kementan, berdasarkan hasil kajian dan monitoring KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), menyebutkan luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi mengalami penurunan rata-rataseluas 650 ribu hektar per tahun.

Jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi RUU Cipta Kerja maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut, begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus.

5. RUU Cipta Kerja Memperkuat Potensi Kriminalisasi dan Diskriminasi Hak Terhadap Petani dan Masyarakat Adat

Catahu 2019 KPA mencatat, sepanjang tahun 2019 saja terjadi 259 kasus penangkapan petani, masyarakat adat dan pejuang hak atas tanah. Jika diakumulasi selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

Melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak memperkuat Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, dua UU ini terbukti sudah banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan.

Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, sengaja atau tidak sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perijinan dari pejabat yang berwenang dalam kawasan hutan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Atau denda sebesar 500 juta – 2,5 miliar. Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan dengan perusahaan atau negara akibat penunjukkan atau penetapan Kawasan hutan secara sepihak.

Kemudian perubahan pasal 15 UU Kehutanan, dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja soal kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit. Ini akan menambah daftar panjang desa-desa dan kampung yang ditetapkan begitu saja sebagai Kawasan hutan, tanpa partisipasi masyarakat, sementara masih ada 20 ribu lebih desa diklaim sebagai Kawasan hutan. Perubahan UU Kehutanan (Pasal 50 misalnya), berpotensi kuat mengkriminalkan masyarakat karena tuduhan merambah kawasan, melakukan penebangan pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan karena tidak memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang dan mengembalakan ternak di Kawasan hutan.

Perubahan UU di atas dapat menimbulkan kontradiksi regulasi yang baru dengan putusan MK No. 35/2012, terkait putusan hutan adat bukan lagi hutan negara dan putusan MK No. 95/2014 dimana masyarakat di dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu UUPA 1960 pun menjamin hak dan akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan. RUU Cipta Kerja jika disahkan akan meningkatkan praktek-praktek kriminalisasi petani dan masyarakat adat di sektor agraria, utamanya kehutanan.

Berdasarkan 5 pokok masalah di atas, kami menyimpulkan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001. RUU focus pada kemudahan bagi perusahaan dan investor skala besar di seluruh sektor agraria (pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur), sehingga abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Lebih lanjut, RUU ini akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari Pasal 33 Ayat (3), UUPA mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong. Sementara semangat “Omnibus Law” yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar dapat menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin dari wilayah hidup mereka.

Persoalan tumpang-tindih UU bukan masalah baru di Indonesia. Di bidang agraria dan SDA saja, sebenarnya sudah ada mandat sejak dulu berdasarkan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugaskan Presiden dan DPR RI untuk melakukan pengkajian ulang dan sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan pembaruan agraria (reforma agraria) dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Termasuk keadilan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Belum juga dilaksanakan mandat TAP tersebut, pemerintahan saat ini malah berkehendak mendorong satu produk UU yang justru bertentangan dengan mandate sebagaimana digariskan TAP.

Kami memandang RUU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh dari political will pemerintah saat ini yang tengah berjanji menjalankan reforma agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat kecil. Dengan pertimbangan tersebut, kami menolak RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah karena menciptakan ketimpangan penguasaan tanah yang semakin tajam antara yang kaya dan miskin, antara petani dengan perusahaan perkebunan, dan tentu saja akan memperparah konflik agraria di Tanah Air. KPA juga mendukung perjuangan kaum buruh untuk melindungi hak-hak pekerja dari dampak RUU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, kami mendesak Ketua DPR RI dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja.

Jangan sampai RUU Cipta Kerja justru menghilangkan mata pencaharian petani, masyarakat adat dan budaya agraris Indonesia. Pembangunan nasional penting diperkuat secara gotong-royong dengan cara memajukan sentra-sentra perekonomian dan investasi berbasiskan kerakyatan demi kemakmuran bersama.

Jalankan reforma agraria sejati dan selesaikan konflik-konflik agraria struktural di Tanah Air.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat agar menjadi perhatian semua pihak.

Jakarta, 20 Februari 2020

Konsorsium Pembaruan Agraria

Dewi Kartika/Sekretaris Jendral

Kontak Person :

Dewi Kartika: 081 394 475 484 Benni Wijaya: 0853 6306 6036

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea