Dialog Kampung Membangun Kesepahaman Bersama Tentang Pengelolaan Hutan

DSC09533
Dialog Kampung Membangun Kebersamaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Laporan: Rais dari Wisma Puri Rimba Kelurahan Battang Barat

Perkumpulan Wallacea. Selama dua hari, 18-19 Juni 2013, Perkumpulan Wallacea  mengadakan Dialog Kampung di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo yang bertujuan untuk “Membangun Kesepahaman Bersama tentang Pengelolaan Hutan” dengan mengundang beberapa pihak untuk menjadi pembicara, dalam hal ini DPRD Kota Palopo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan juga dari aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Tana Luwu.

Dialog tersebut dihadiri pula 6 komunitas/ masyarakat adat, khususnya masyarakat dataran tinggi Kota Palopo, yaitu  komunitas adat Battang Barat, Ba’tan, Kambo, Latuppa, Peta,dan Padang Lambe.

Sayangnya dalam kegiatan tersebut tidak semua pembicara hadir. Ketidakhadiran utusan dari DPRD  Kota Palopo  membuahkan kekecewaan bagi masyarakat padahal  kehadiran pihak DPRD sangat diharapkan oleh masyarakat. Pada dialog kampung tersebut  DPRD diberikan amanah untuk menjelaskan sejauh mana peranan Legislatif dalam pemberdayaan masyarakat Kota Palopo khususnya masyarakat dataran tinggi yang wilayahnya beririsan dengan hutan.

”Seharusnya di saat seperti inilah pihak wakil rakyat hadir bersama masyarakat, bukan hanya ketika ada momentum politik/kepentingan baru kemudian datang berbaik hati di hadapan masyarakat,” protes Pabbaliada To Jambu, Ayyub.

Kekecewaan masyarakat sangat mendasar karena memang tidak bisa  dipungkiri,  di Kota Palopo ini ada beberapa wilayah kelola masyarakat yang masuk dalam kawasan konservasi dan hutan lindung akibat penunjukan pemerintah secara sepihak yang lebih menghargai bentangan alam, lebih menghargai gambar peta yang bersumber dari satelit tanpa memperhatikan manusia yang ada didalamnya sehingga menghilangkan hak-hak kelola sebahagian masyarakat.

Ada beberapa rekomendasi yang dilahirkan dalam dialog tersebut sebagai respon terhadap putusan Mahkama Konstitusi tentang hutan adat, setelah mendapat penjelasan tentang putusan MK dari Firma Hukum   AMAN Tana Luwu, masyarakat kemudian merumuskan rencana tindak lanjut di masing-masing komunitas adat sebagai langkah kongkrit dalam menyikapi putusan MK tersebut.

Menurut Abdul Azis,SH.,  yang juga Ketua Firma Hukum AMAN Tana Luwu, ini penting untuk dilakukan karena putusan MK tersebut memang bukanlah ‘doa sapu jagat’  yang dalam artian setelah kehadirannya maka pengakuan masyarakat adat serta merta tercapai, melainkan putusan MK ini selain sebagai kemenangan kecil, ini juga menjadi tantangan bagi masyarakat adat.   Keputusan ini sifatnya bersyarat. Sebagaimana yang terterah dalam putusan tersebut dikatakan bahwa “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

”Artinya keberadaan masyarakat adat dapat diakui selama ia ada dan masih hidup, dalam artian wilayahnya jelas, aturan tentang pengelolaan hutannya jelas, serta hukum-hukum adatnya masih ada dan dijalankan oleh masyarakat,”kata Azis, SH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea