Merawat Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat To Jambu Mengelola Hutan

Masyarakat Adat To Jambu Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo adalah salah satu dari sekian banyak komunitas di negara ini yang melakukan praktek pengelolaan hutan berbasis komunitas atau Community Base Forest Management (CBFM) berdasarkan pengetahuan lokal yang berlaku di wilayahnya. Praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat To Jambu ini kemudian dikuatkan pengawalannya melalui konsolidasi kampung, dan pertemuan para pihak.

Beberapa hasil yang telah dicapai dalam proses tersebut, yaitu; terdokumentasinya aturan adat, penguatan peran lembaga adat, tersusunnya dokumen perencanaan kampung, terbentuknya lembaga di tingkkat lokal dengan 3 (tiga) unit yaitu Unit Kelola, Unit Lestari dan Unit Ekonomi, pengesahan wilayah adat To Jambu oleh Tomakaka Ba’tan yang ditandai dengan penandatanganan bersama Tomakaka Ba’tan, Tomatoa To Jambu, Lurah Battang Barat, Ketua LPMK dan 3 Ketua RW di peta wilayah adat To Jambu yang disaksikan langsung oleh Sekda dan WaliKota Palopo, melahirkan kesepakatan bersama antara pemerintah kelurahan dan lembaga adat dalam pengelolaan hutan terutama pemanfaatan hasil hutan (kayu dan non kayu), tersusunnya pengusulan perubahan kawasan oleh masyarakat dalam rangka revisi RTRW melalui Dinas Kehutanan, dan memfasilitasi pengakuan MHA To Jambu melalui SK Walikota.

Apa yang telah dilakukan masyarakat To Jambu ini perlu mendapat apresiasi dan mendapat dukungan dari berbagai pihak sebagai bentuk menyikapi perubahan paradigma pengelolaan hutan dari top-down menjadi bottom-up dan juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Sekaligus memperkaya model CBFM yang berkembang selama ini.

Bengkel Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas di Wilayah To Jambu merupakan rangkaian proses advokasi penguatan hak-hak masyarakkat To Jambu dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Kegiatan ini dimaksudkan memperkenalkan pengelolaan hutan berbasis komunitas yang dilakukan di wilayah To Jambu kepada parapihak dan sharing pengalaman sesama komunitas yang telah berhasil mendorong pengakuan dari pemerintah setempat baik melalui SK sesuai Permendagri No 52 Tahun 2014 maupun melalui Perda seperti yang telah dicapai oleh Komunitas Marga Serampas Rantau Kermas Jambi dan Komunitas To Taa Wana Posangke Morowali Utara Sulteng. Pertemuan ini diselenggarakan di Kota Palopo pada tanggal 06 sampai dengan 08 Desember 2015.

Kegiatan ini diikuti kurang lebih 35 orang yang berasal dari 6 komunitas di Dataran Tinggi Kota Palopo Sulsel (To Jambu, Padang Lambe, Ba’tan, Peta, Kambo, dan Latuppa), komunitas To Taa Wana Posangke Kabupaten Morowali Utara Sulteng, komunitas Marga Serampas Rantau Kermas Jambi, Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, Yayasan PADI Indonesia Kaltim, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Perkumpulan Wallacea, AMAN Tana Luwu, Fakultas Hukum Unanda,Fakultas Kehutanan Unanda, Bappeda Palopo, Dinas Kehutanan, PDAM Palopo, Kecamatan Wara Barat, dan Lurah Battang Barat.

Kehadiran dari pihak akdemisi memberi warna tersendiri dalam memperkuat advokasi pengelolaan hutan di wilayah To Jambu terutama dari sudut pandang tinjauan akademis/ilmiah. Sementara kehadiran PDAM Kota Palopo sebagai pembicara untuk melihat seperti apa dukungan dan timbal balik jasa lingkungan pada masyarakat To Jambu yang selama ini menjaga sumber air di Sungai Bambalu dengan praktek kearifan lokalnya. Jasa lingkungan yang dimaksud adalah PDAM memberikan kontribusi baik berupa materi, bantuan fisik dan kegiatan- kegiatan pemberdayaan di komunitas To Jambu dan Latuppa.

Kegiatan ini menghasilkan beberapa rumusan diantaranya; penghormatan dan penghargaan terhadap pengetahuan dan pembelajaran terkait norma dan kerarifan lokal yang hidup di masyarakat adat sampai sekarang, termasuk kelembagaan adat dan aturan/hukum adat yang mengatur pemanfaatan SDA/hutan, mengkomunikasikan program-program BKSDA, SKPD Palopo dan PDAM dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan pembangunan fasilitas umum di dalam kawasan hutan sehingga tidak bersifat sektoral, perlunya pendokumentasian yang baik terkait sejarah, kondisi sosekbud, termasuk pranata sosial (kelembagaan adat, norma, aturan/hukum adat), potensi SDA/Hutan dan sistem perekonomian masyarakat adat, serta wilayah adatnya sesuai dengan kosmologinya, perlunya ada komunikasi yang lebih baik antara masyarakat adat dengan pemangku kepentingan lainnya (NGO dan Akademisi dapat memfasilitasi dan menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, perlunya pertemuan dengan PDAM yang melibatkan MHA, Akademisi, CSO dalam kerangka perlindungan sumber-sumber air, dan perlu menginisiasi Forum Multi Pihak sebagai wadah komunikasi, berbagi informasi dan pembelajaran, serta peningkatan kapasitas lokal, setiap pihak luar dan pemerintah masuk harus melalui lembaga/tokoh adat, dan memperkuat kelembagaan adat, aturan/hukum adat dan peradilan adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea