Sektoralisme Pengelolaan Ruang dan Konflik Agraria
Karena pentingnya sumberdaya alam sebagai sandaran pembangunan, maka Pemerintah Orde Baru memperbanyak dan meluaskan fungsi departemen yang berurusan dengan keruangan; Departemen/Badan Pertanahan, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan, Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan Umum, berbagai badan otorita, Departemen Kelautan dan Perikanan (pasca reformasi). Sebelum berkembangnya berbagai departemen ini, bahkan, terlebih dahulu diterbitkan berbagai undang-undang sektoral: kehutanan, pertambangan, transmigrasi, pengairan. Undang-undang No. 5/1960 tentang Pokok Agraria, yang semula dimandatkan sebagai induk berbagai perundangan yang berkaitan dengan keagrariaan/sumberdaya alam, pada praktiknya hanya merupakan rujukan untuk administrasi pertanahan. Jadi, sejak awal Orde Baru, praktik kebijakan dan mekanisme kelembagaan yang berkaitan dengan keruangan telah berlangsung sektoral.
Undang-undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, yang diharapkan bisa menjadi rujukan utama pentaan ruang, ternyata menjadi bagian dari sektoralisme itu sendiri. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa perencanaan pengelolaan sumberdayaalam / keruangan menjadi sangat panjang dan saling tumpang tindih : rencana pembangunan panjang-menengah-pendek (nasional, provinsi, kabupaten/kota); rencana tata ruang wilayah — RTRW (nasional, provinsi, kabupaten/kota), rencana pemanfaatan ruang sektoral (kehutanan, pertanian, pertambangan, perikanan, pertanahan, PU), dll.
Sektoralisme ini menyebabkan tumpang-tindih kewenangan, lambannya birokratisasi, dan sulitnya memunculkan inovasi-inovasi baru untuk mengatasi masalahmasaalah nyata di lapangan. Angin segar reformasi (1998) memunculkan optimisme baru dalam pemanfaatan ruang. Pada tahun 2001, MPR mengeluarkan Ketetapan No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Butir menimbang (c) ketetapan ini mencerminkan kesadaran tinggi anggota MPR tentang carut marut pengelolaan ruang: ”…bahwa pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik…”.
Kemudian, pasal 5 Tap. MPR No. IX/2001 dengan jelas menekankan pentingnya melakukan kajian berbagai peraturan yang berkaitan dengan agraria/PSDA; baru kemudian melakukan pembaruan kebijakan agraria/PSDA. Sayangnya, Tap. MPR No. IX/2001 – yang muncul pada masa pemerintahan Megawati – tidak mendapatkan tindak lanjut yang layak. Bukannya melakukan kajian yang mendalam tentang kesemrawutan kebijakan PSDA, berbagai instansi sektoral ini malahan mengusulkan revisi berbagai perundangan sektornya masing-masing: revisi UU pertanahan, revisi UU kehutanan, revisi UU Pertambangan. Beberapa UU sektoral yang baru bahkan telah disahkan: UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 19/2004 tentang Perubahan UU Kehutanan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun tanpa bermaksud utk membusungkan dada kemenangan atas Yudisial Reviuw UU Perkebunan paling tidak membuktikan bahwa masih ada harapan bagi rakyat untuk terus berjuang dan memperjuangkan hak-hak atas tanah/wilayah dan sumberdaya alamnya.
Menyusun Penataan Ruang Kampung URASO: Berkaca dari Pengalaman
Kembali ke catatan di awal, maka penting menekankan bahwa tindakan negara dalam alokasi ruang yang melahirkan monopoli alat produksi adalah pelajaran konkrit dari produksi ruang kapitalis. Kondisi material ruang yang ditandai distribusi alat produksi (dalam kasus ini tanah) yang menumpuk di tangan segelintir kelas kapitalis pembahasannya dipangkas menjadi teknokratis, misalnya, semata berwujud Rencana Tata Ruang (RTR).
Ambil contoh paling konkrit, peta sebagai gambaran tentang ruang yang diorganisir untuk tujuan kapital, maka pemerintah membuat aneka peta tematik; katakanlah, peta tata guna hutan, peta pertambangan, dan peta-peta lain. Karena peta-peta itu sering saling bertubrukan satu dengan lain, maka dibuatkan peta “paduserasi,” mungkin dipinjam dari kosakata “harmoni,” kerap diilusikan sebagai kultur bangsa. Di lapangan, peta-peta yang diukir para ahli kartografi itu selalu menjadi malapetaka. Peta menjadi alat untuk menggusur petani, bahkan dengan kekerasan mematikan. Oleh karena itu, Peta, bukan sekedar media untuk melukiskan informasi bumi, tetapi menjadi alat klaim kepemilikan hak milik secara eksklusif.
Sebagaimanadiamanatkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang khususnya Pasal 60, 61, 65 dan 67 yang menyangkut : Hak, Kewajiban dan Peran serta Masyarakat dimana Masyarakat diharapkan untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam Penyusunan, Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Olehnyaitu peran aktif masyarakat dalam merencanakan Pemanfaatan ruang wilayahnya sangat strategis disamping karena menyangkut wilayah hidup mereka pun karena merekalah yang paling tahu dan memahami wilayahnya. Upaya ini juga dimaksudkan untuk memberikan landasan normatif bagi Pemerintah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Hal ini tidak sekedar menyangkut hal teknis zonasi ruang akan tetapi juga sebagai sebuah langkah politik ruang yang membebaskan, yakni melenyapkan monopoli kelas kapitalis atas ruang dan alat produksi, dengan rencana keruangan dari skala paling konkrit produksi ruang yang lebih riil dan dikuasai serta dimanfaatkan secara langsung bagi masyarakat.
Rumusan Perencanaan Tata Ruang Kampung Uraso :
Seharusnya penataan ruang tidak mengulang kesalahan-kesalahan penataan ruang diberbagai tempat dinegara ini pada masa lalu. Perda RTRW Sulsel dan Kabupatan Luwu tidak perlu dibuat tergesa-gesa; UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan penyesuaian RTRW provinsi dalam waktu dua tahun mendatang, dan RTRW kabupaten/kota dalam tiga tahun mendatang. RTRW provinsi/kabupaten/kota seharusnya benar-benar menjadi satu satunya acuan semua pihak/instansi terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian ruang. Meskipun demikian yang selalu terlupakan adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang seyogyanya bagian integral dan tdk terpisahkan dari RTRW Propinsi dan Kabupaten/Kota karena RDTR ini yg secara rinci memuat Rencana keruangan ditingkat Kampung atau Desa.
Pertama, RTRW dan RDTR haruslah partisipatif; artinya diketahui oleh publik seluas luasnya, mendapatkan banyak masukan dari masyarakat, agar berbagai ketentuan dalam RTRW/RDTR nantinya tidak merugikan dan tidak ditentang masyarakat. Karena itu, formulasi Qanun RTRW – baik aturan maupun lampiran-lampirannya – haruslah menggunakan bahasa sederhana yang dipahami publik; tanpa mengurangi substansi isi RTRW. Masalah-masalah dan tantangan keruangan sebagai basis analisis dalam Qanun RTRW seharusnya tersurat dengan jelas, serta tidak tereduksi oleh bahasa teknis keruangan yang membingungkan publik. Kejelasan formulasi masalah dan tantangan keruangan akan memudahkan masyarakat memahami dasar analisis RTRW/RDTR. RTRW/RDTR seharusnya detail dan benar-benar digunakan oleh instansi terkait untuk program pembangunan instansinya masing-masing; dan bukan hanya sekedar ”indikasi program tempelan.”. Draft RTRW/RDTR dan lampiran-lampirannya seharusnya mudah diakses oleh masyarakat. Proses sosialisasi dan menerima masukan dari masyarakat seharusnya lebih serius; tidak hanya sekedar proses menyelesaikan suatu ”item” pekerjaan proyek yang bersifat prosedural-ceremonial saja. Jadi pengumuman rancangan qanun RTRW lewat media massa saja tidaklah cukup.
Kedua; pembuatan RTRW/RDTR seharusnya merupakan agenda bersama antara berbagai instansi yang memiliki kewenangan keruangan, dan bukan hanya agenda salah satu instansi saja – misalnya BAPPEDA (atas nama Pemda) – yang kemudian dimintakan persetujuan kepada DPRD. Hal ini agar Qanun RTRW, nantinya, benar-benar merupakan satu-satunya acuan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Provinsi/kabupaten/kota.
Ketiga, adalah menempatkan azas keberlanjutan dan azas penghargaan terhadap hak azasi manusia (HAM) dalam penataan ruang, meskipun secara prosedural telah terdapat beberapa azas penataan ruang. Telah kita ketahui bersama bahwa alam di sekitar kita telah mengalami kerusakan parah akibat pengelolaan yang sembarangan pada masa lalu. Tentunya kita tidak ingin mewariskan kondisi ruang yang rusak kepada anak cucu kita. Konflik pertanahan, baik di perkotaan maupun perdesaan, selalu terjadi akibat kepentingan terhadap ruang yang berbeda. Negara harus adil dalam menyelesaikan konflik seperti ini; dan tidak boleh memihak kepada sektor tertentu – misalnya investor. Karena itu azas penghargaan terhadap HAM sangatlah penting.
Keempat; Qanun RTRW/RDTR seharusnya menyandarkan analisis pola dan fungsi budidaya, baik perdesaan maupun perkotaan, berdasarkan model-pola budidaya yang telah dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Di berbagai negara lain komoditi-komoditi seperti: kopi, lada, karet, tebu, pisang, tembakau, dll. merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar; semua komoditi ini, di Indonesia, telah menjadi hasil perkebunan rakyat. Beberapa komoditi perkebunan rakyat yang lain adalah Sagu, Coklat, Lada/Merica, cengkeh, kemiri, jeruk, dll.
Berdasarkan data hasil Pemetaan Partisipatif masyarakat kampung Uraso maka, dapat disimpulkan bahwa rata – rata setiap KK hanya memiliki luas lahan ± 0,50 – 1 Ha dan sebahagian besar sekaligus merupakan lahan pemukiman hal ini disebabkan karena wilayah ini 70 % merupakan wilayah HGU Perkebunan Sawit PTPN XIV dengan rincian 1.581,50 Ha untuk lahan INTI dan untuk plasma seluas 176,25, Kawasan Hutan seluas 396,50 Ha. Jadi sisanya 948,50 Ha merupakan lokasi pemukiman, sarana dan prasarana serta sebagian untuk lahan pertanian. Sementara itu sumber penghasilan utama masyarakat dari hasil kebun coklat dan buah – buahan berupa : Durian, Rambutan, Lansat, sagu serta sumber daya lain berupa Rotan, Madu, Kayu ± 90 – 95 % berada diwilayah HGU PTPN XIV dan Kawasan Hutan.
Penulis : Sainal Abidin, Koordinator SLPP Tokalekaju
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World