Koalisi Udara Bersih Desak Pemerintah Perketat Baku Mutu Udara

http://news.liputan6.com/read/3118699/photo-peran-parlementer-dalam-memenuhi-tantangan-udara-bersih
Menteri LHK , Siti Nurbaya memberikan sambutan dalam pertemuan membahas udara bersih di Gedung DPR (5/10) -Sumber foto: Liputan6.com/JohanTallo

Koalisi Clean Air Action -Gerak Bersihkan Udara,- terdiri dari Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyerahkan dokumen Saran, Pendapat dan Tanggapan Terhadap Revisi Baku Mutu Udara Ambient dalam Lampiran Rncangan Peraturan Pemerintah Pengelolaan Kualitas Udara kepada Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin  (21/11/2017).

Desakan tersebut sehubungan dengan rencana KLHK merevisi PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, mencakup kerangka hukum utama pengelolaan kualitas udara di Indonesia serta baku mutu udara ambien telah terkatung-katung prosesnya selama tujuh tahun. Revisi PP No. 41 Tahun 1999 ini dimandatkan sejak tahun 2009 dalam UU No. 32 Tahun 2009 dengan batasan waktu 1 (satu) tahun.

Penetapan baku mutu udara ambien hendaknya tetap mencakup pencemar utama yang telah ditetapkan pada PP No 41/1999 dengan pengetatan batas konsentrasi berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan mengenai level yang aman dan dapat menjamin kesehatan manusia.

Selain itu, RPP diharapkan memberikan kerangka hukum yang memungkinkan penambahan parameter berdasarkan penelitian pada parameter beracun dan berbahaya (HAPs atau hazardous air pollutants).

Koalisi memberikan masukan nilai baku mutu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan terkini untuk 13 parameter yang harus tetap dipertahankan pada Revisi Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Udara mengingat masing-masing parameter pencemaran tersebut memiliki risiko spesifik dan unik terhadap kesehatan masyarakat.

Parameter PM 2.5 misalnya, sudah terbukti melalui berbagai penelitian global sebagai salah satu pencemar yang paling terkait dengan kesehatan publik dan mengakibatkan angka kematian dini paling signifikan. Hubungan sebab-akibat antara tingkat PM 2.5 dan penyakit kardiovaskular dan paru sudah tidak diragukan lagi. Badan Internasional untuk Penelitian Kanker telah melaporkan bahwa partikel udara dan polusi udara ambien terbukti merupakan kelompok 1 karsinogenik, artinya terbukti menyebabkan kanker pada manusia. Untuk itu, PM 2.5 sangat penting diperketat dalam standar ambien udara yang akan direvisi.

Rilis yang diterima Wallacea News, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, , dalam rilisnya, perlu adanya kesesuaian kendaraan dengan bahan bakar yang tidak mengakibatkan dampak negative terhadap kesehatan dan lingkungan dan juga pentingnya menanamkan kesadaran kepada masyarkat akan dampak negative yang serius dari produk yang digunakannya terhadap kesehatan serta lingkungan dan itu menjadi tanggung jawab konsumen untuk turut menjaga kelestarian lingkungan.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menilai baku  mutu ambien udara di Indonesia masih jauh dari panduan WHO yang menyarankan 10 µg/m3.  Sedangkan PP Nomor 41 1999 memakai rata-rata  baku mutu udara masih pada angka 15 µg/m3.

Menurut Bondan, partikel debu halus (PM 2.5) ini menjadi salah satu parameter yang sangat penting diperketat. Dalam RPP Pengendalian Kualitas Udara, konsentrasi baku mutu ambien yang diusulkan KLHK hanya 60 µg/m3 dalam rata-rata hariannya, jauh lebih longgar dari panduan WHO yaitu 25 µg/m3.

Di sisi lain, Dwi Sawung, Pengkampanye Urban dan Energi dari WALHI, menegaskan pentingnya pengaturan parameter pencemar berbahaya dan beracun,

“Penambahan HAP (hazardous air pollutant) penting diatur dalam batang tubuh dan untuk parameter yang telah diyakini sebarannya di semua tempat perlu menjadi lampiran tersendiri dalam rancangan peraturan pemerintah terbaru. Parameter pencemar berbahaya dan beracun kerap kali diabaikan dalam aturan baku mutu ambien,” ujar Sawung.

Ia menambahkan, kasus kebakaran hutan bisa menjadi contoh bagaimana pencemaran udara yang berdampak luas dan panjang, dengan beberapa parameter pencemar beracun, bisa lolos dari jerat hukum.

Sementara itu, Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan dari ICEL menggarisbawahi pentingnya pengaturan dalam batang tubuh RPP Pengendalian Kualitas Udara mengenai pertimbangan dalam menetapkan baku mutu udara ambien serta mekanismenya.

“Rancangan yang ada sekarang sudah jauh lebih progresif dari PP No. 41 Tahun 1999 karena mensyaratkan baku mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria, utamanya perlindungan terhadap kesehatan publik. Ini harus dijaga tetap ada hingga RPP ini disahkan,” ujarnya.

KLHK juga dianggap perlu mempersiapkan mekanisme yang jelas untuk memastikan akuntabilitas dalam proses penetapan standar. Misal, bagaimana baku mutu ditentukan berdasarkan studi termutakhir? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan? (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea