Menteri Kehutanan Singkalong Bicara Hutan Adat di Kantor Menteri Kehutanan RI
Datang dari jauh, wilayah Seko Kabupaten Luwu Utara, Yermia Lampi sebagai Pemangku Paroke’ Lopo, memenuhi undangan dari Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan dan Lingkunganan di Jakarta (20/11) lalu. Tak lain maksudnya, menyampaikan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Singkalong. Singkalong adalah salah satu dari 9 wilayah adat di Seko.
Saat tiba gilirannya menyampaikan bagaimana cara pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Seko, Yermia pun langsung memperkenalkan diri.
‘’Nama saya Yermia Lampi, di lembaga adat jabatan saya sebagai Paroke’ Lopo, salah satu struktur di lembaga adat Tokey Singkalong Kecamatan Seko yang mengurusi kehutanan dan penegakan aturan adat tentang lingkungan hidup. Jadi kalau di pemerintahan jabatan saya sama dengan Menteri Kehutanan,’’ katanya disambut tepuk tangan dari peserta termasuk Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Prof. San Afri Awang.
Yermia kemudian membuka dengan menyampaikan filosofi leluhur Singkalong (Totowina ka pepotoru na po uwe-uwe’ki) antara masyarakat dengan hutannya memakai bahasa lokal:
‘’Lopo iyomo ko tuwu anta, Ko roba lopote’ iko bola ikei tuwu, Pekahi mokei maentu hei ikuya kei manoba, No uwa to ko tuwu i maawa, Ala ane mesaliompa kei intu hai nirewahi manoba mampohupa komahia..’’
Yang maknanya kurang lebih sebagai berikut: Hutan adalah kehidupan kita, hutan kita terbentang luas untuk memberi kehidupan, jaga dan kelola dengan baik supaya menjadi penopang kehidupan bersama, jika kamu lalai mengelolanya dan tidak menjaganya maka kamu akan mendataang kelaparan …’’
Di hadapan Prof San Afri Awang, Paroke Lopo Singkalong ini menjabarkan lebih jauh praktek pengelolaan hutan adat yang diatur oleh aturan adat yang masih berlaku sampai sekarang. ‘’Kami punya aturan adat yang mengatur hutan dan lingkungan yang sudah turun temurun berjalan oleh nenek moyang kami sampai sekarang,’’ katanya.
Dia menyebutkan aturan adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sampai sekarang berupa; denda bagi pembakar hutan sebanyak 1 ekor babi yang senilai Rp 2 juta untuk mengembalikann roh hutan yang dibakar/rusak, denda bagi penebang pohon di pinggir sungai sebesar Rp 100.000 per pohon, denda bagi penebang pohon rotan tetapi tidak digunakan sebesar Rp 100.000 per pohon, denda bagi yang melakukan motuwo (meracun ikan di sungai dan di kolam) sebesar Rp 500.000, denda bagi kedapatan berburu memakai senjata api sebesar Rp 200.000 , denda bagi pencemaran lingkungan untuk membayar satu ekor babi senilai Rp 2 juta untuk mengembalikan roh lingkungan yang tercemar, dan setiap investasi yang akan masuk di wilayahnya harus ada persetujuan adat.
‘’Hukum adat telah kami dokumentasikan supaya selalu kami ingat dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Kami tahu hukum adat tidak tertulis, tetapi kami menuliskannya supaya diketahui siapa saja masuk di wilayah kami,’’ tegas Yermia Lampi.
Menurutnya, masyarakat adat Tokey Singkalong mengenal 3 jenis hutan, yaitu wana adalah hutan yang tidak pernah dijamah dan dijaga fungsi lindungnya, lopo todi adalah hutan yang bekas kebun lama yang bisa dikelola secara terbatas karena kayunya sudah besar-besar dan termasuk daerah penyanggah sumber air, dan lopo lea adalah hutan bekas kebun baru yang bisa dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.
‘’Jadi hutan bagi kami masyarakat adat Tokey Singkalong adalah sumber kehidupan, kalau tidak ada hutan maka tidak ada kehidupan masyarakat adat,’’ ucapnya lantang.
Mewakili masyarakat adat Tokey Singkalong Kecamatan Seko Kabupatn Luwu Utara, sebagai Paroke Lopo Yermia Lampi menyampaikan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia untuk segera menetapkan hutan adat demi kelangsungan hidup, kesejahteraan kami dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan kami sebelum habis dirusak orang luar.
Setelah menyampaikan praktek pengelolaan hutan adatnya,Yermia menyerahkan Aturan/Hukum Adat Tokey Singkalong yang sudah mereka dokumentasikan untuk dipelajari, pada saat yang sama mengajakn Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan berkunjung ke Seko melihat langsung pemberlakuannya.
Di akhir dialog, Paroke Lopo Singkalong ini didaulat oleh puluhan pemuka adat untuk menyerahkan cideramata kepada Prof San Afri Awang sebagai Dirjen. ‘’Saya jadi terhormat menerima cinderamata dari menteri kehutanannya masyarakat adat,’’ kata Prof San Afri Awang sambi berjabat tangan. (*)
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World