Memahami Konflik Tenurial Melalui Pendekatan Sejarah:Tinjauan Kasus BKSDA dengan Masyarakat Battang Barat Kota Palopo
Oleh: Sainal Abidin
Konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kebijakan nasional terkini, hal ini dapat kita temukan dalam berbagai studi dan kajian bahkan dalam berbagai event diskusi maupun dialog-dialog. Dugaan ini berasal dari keyakinan bahwa konsep kebijakan kepemilikan/kepenguasaan negara di masa Hindia Belanda masih berlanjut hingga kini dan perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut di masa kemerdekaan belum berjalan dengan baik. Ditinjau dari sisi sejarah, maka perubahan-perubahan kebijakan di masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi berkontribusi besar terhadap konflik tenurial tersebut. Meskipun demikian tulisan ini tidak berusaha menerangkan bahwa konflik tenurial suatu daerah diduga terjadi akibat perubahan-perubahan kebijakan tersebut, namun menerangkan bahwa ketidakpastian hukum yang berlaku atas penguasaan hutan berkontribusi atas konflik tenurial hingga kini. Studi kasus di Battang Barat, Kota Palopo dapat menjadi contoh pendekatan ini.
Konflik dan Sengketa Tanah di Battang Barat, Kota Palopo: Akibat Perubahan Fungsi dan Penunjukan sebahagian Kawan Hutang Lindung menjadi Taman Wisata Alam Nanggala III.
Kota Palopo dengan Luas wilayah 247,52 km2 atau 5,20 % dari luas wilayah Prop. Sulawesi – Selatan yang terletak pada koordinat 02˚ 30’ 45” – 03˚ 37’ 30” Lintang selatan dan 119˚ 41’ 15” – 121˚ 43’ 11” Bujur Timur. Kelurahan Battang Barat merupakan, daerah pemekaran dari Keluarahan Battang yang terletak di sebelah barat Kota Palopo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tanah Toraja.
Sebagian besar penduduk/komunitas masyarakat Battang Barat terdiri dari masyarakat adat yang masih mempraktekkan cara hidup leluhur mereka dengan memanfaatkan kawasan pertanian hutan (Perladangan/Mabbela). Masyarakat adat ini, menamakan dirinya sebagai masyarakat Katomakakaan Battang, memiliki cara pengelolaan sumberdaya hutan yang dipraktekkan secara turun temurun dari leluhur mereka.
Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Lindung yang ditunjuk berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Kawasan ini diusulkan menjadi Kawasan Hutan Konservasi Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan Nomor: 101/Kwss-6/1/1990 tanggal 18 Januari 1990. Usulan ini didukung oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam melalui Surat Nomor: 2435/DJ-VI/TN/90 tanggal 24 Nopember 1990 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan.
Pada Tahun 1992, saat itu Kota Palopo masih berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Luwu, Mentri Kehutanan menunjuk sebahagian Kawasan Hutan Nanggala III seluas ± 500 Ha untuk diubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam dengan Keputusan Menteri Nomor : 663/Kpts-II/92 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1992 dengan status Hukum Penunjukan. Tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan sebagian kawasan hutan lindung Nanggala III yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu, Propinsi Sul Sel menjadi Taman Wisata Alam Nanggala III.
Selanjutnya pada tahun 2004 dilakukan Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan TWA Nanggala III oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Palopo sesuai SK Walikota Palopo Nomor: 294/VIII/2004 tanggal 31 Agustus 2004 tentang Panitia Tata Batas Kota Palopo. Setelah dilakukan Tata Batas ini Luas Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III menjadi ± 968.82 dengan panjang batas 16.001,08 meter.
Dengan Perlusan tersebut maka, wilayah pemukiman dan Lahan garapan masyarakat Kelurahan Battang Barat yang sejak turun temurun didiami dan dihuni oleh masyarakat sebanyak ± 230 KK, diklaim oleh BKSDA sebagai wilayah Konservasi Taman Wisata Alam Naggala III yang terletak pada 1200 04’ 01’’ – 1200 05’ 55’’ BT dan 020 55’ 52’’ – 020 58’ 55’’ LS yang secara administratif masuk dalam wilayah Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo.
Kebijakan ini mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat Katomakakaan Battang dengan pemerintah dalam hal ini “BKSDA”. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1932, berdasarkan peta tatabatas yang ditetapkan oleh Zelf Bestuur Nomor 85 tanggal 16 Februari 1932 kawasan Hutan Nanggala III yang terletak di Kecamatan Wara Utara Kotif Palopo, Kabupaten Daerah Tinggkat II Luwu, Propinsi daerah Tingkat I Sulawesi Selatan berada dalam Kawasan Hutan Lindung. Di lain pihak, masyarakat adat Katomakakaan Battang telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun jauh sebelum jaman Belanda sebagai tanah-tanah perladangan dan pemukiman. Oleh karena itu, sejarah diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memahami konflik tenurial tersebut di Battang Barat.
Meskipun demikian Tulisan ini tdk menguraikan sejarah penguasaan tanah tersebut, akan tetapi, mencoba menceritakan kembali perdebatan-perdebatan diantara para ahli-ahli hukum atas kepemilikan tanah hutan di Masa Hindia Belanda paska Agrarische Wet 1870. Tinjauan kasus tentang perdebatan status hukum perladangan pada awal abad ke-20 menunjukkan dampak dari kebingungan penafsiran terhadap para pengambil kebijakan di lapangan.
Polemik Status Tanah di Masa Hindia Belanda atas KepemilikanTanah Hutan: Tanah Negara vs Tanah Adat
Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 (AW 1870) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar membuka hutan dan menjadikannya Perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring (deklarasi kawasan), dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta.
Walaupun AW 1870 ini berazaskan pada ketentuan domeinverklaring, ia juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum di masa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat atas hutan. Nolst Trenite, seorang guru besar dari Universitas Uthrect sekaligus pula Pejabat Tinggi Departemen Pemerintahan, berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran azas domeinverklaring, tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh penduduk/ komunitas masyarakat. Pendapat ini selanjutnya ditentang oleh sarjana lain, antara lain van Vollenhoven dari Universitas Leiden, serta Logemann dan ter Haar dari Sekolah Hukum Hindia Belanda.
Menurut mereka, tujuan sebenarnya dari pembuat AW 1870 ini adalah untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk/komunitas masyarakat mempunyai hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran yang pasti apa yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa/adat untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa/adat adalah padang rumput penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk/komunitas masyarakat asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Sayangnya, peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak masyarakat desa/adat atas wilayah hutan serta penjelasan batasan tanah terlantar, karena pada prakteknya masyarakat adat memiliki system atau tata cara pengelolaan dimana suatu lokasi dibiarkan menjadi (Kabo/Pinole) dengan tujuan pemulihan dan menyuburkan kembali tanah secara alami.
Dalam buku De Indonesier en Zijn Grond, karangan van Vollenhoven, disebutkan bahwa menurut hukum adat, desa/adat mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa/adat, termasuk hutan. Penduduk/komunitas masyarakat desa/adat mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin kepala desa/adat/pemangku adat. Beliau menafsirkan azas domeinverklaring bahwa tanah domein negara adalah yang bukan hak milik, hak milik adat dan bukan pula tanah milik rakyat di bawah naungan hak ulayat/pertuanan. Buku ini sekaligus membantah peraturan 1874 dengan menyatakan bahwa hutan, walaupun tidak digarap, termasuk pada batasan wilayah kekuasaan desa/adat dan bukan sebagai tanah negara. Namun dalam jawabannya, Nolst Trenite menafsirkan hukum masyarakat adat terhadap wilayah hutan terus berlanjut dan para penentang domeinverklaring memandang bahwa pemerintah sebaiknya mengakui hak-hak masyarakat adat (hak ulayat/hak pertuanan) tersebut sebagai solusi atas kebingungan menafsirkan hukum tanah masyarakat adat.
Kebingungan yang dialami oleh para ahli-ahli hukum tersebut nampaknya menular pula kepada para pengambil kebijakan, terutama di tingkat pemerintah dan pemerintah daerah, selanjutnya menjabarkan dan mensikapinya dengan memberikan cap atau stiqma-stiqma negative seperti; peladang berpindah, parambah bahkan kerap dikategorikan sebagai suku terasing atau masyarakat tuna budaya. Berdasarkan stiqma ini, oleh pemerintah kemudian merumuskan berbagai kebijakan dan program seperti ; Pemukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT), Pemukiman Masyarakat Tuna Budaya dan Transmigrasi Penduduk Setempat/Lokal (TPS) yang intinya adalah bagaimana menyingkirkan masyarakat dari wilayah yang menjadi hak ulayatnya/pertuanan mereka.
Ambiguisitas Penafsiran Tanah Negara :
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sistem peladangan berpindah, yang dilakukan oleh masyarakat setempat memerlukan masa pemberaan/jeda atau dengan bahasa sederhana mengistirahatkan lahan/tanah agar dapat mengembalikan tanah-tanah tersebut menjadi subur kembali. Sebagian besar tanah-tanah di bawah sistem perladangan tidak dibudidayakan secara terus menerus sehingga dapat saja Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanah-tanah tersebut walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa/adat.
Atas penafsiran yang berbeda tersebut, Pemerintah Keresidenan melakukan penelitian dan penyelidikan secara mendalam mengenai status hukum perladangan tersebut. Dari hasil penyelidikan, terbukti bahwa sistem perladangan berada di wilayah kekuasaan desa/adat. Walaupun orang meninggalkan lahan garapan mereka, hak-hak mereka atas tanah tidak serta merta hilang selama mereka memberitahu kepada kepala desa/adat/pemangku adat, bahwa mereka ingin tetap mempertahankan haknya atas tanah. Di lain pihak, sistem perladangan dianggap sebagai sistem pertanian pembakaran yang merusak yang dapat menghancurkan humus dan sterilisasi tanah, pengrusakan sejumlah besar kayu serta munculnya alang-alang di lembah.
Oleh karena itu, pemerintah Keresidenan menerbitkan Peraturan Perladangan pada tanggal 30 Juli 1896. Peraturan ini berusaha membatasi pertanian perladangan terhadap beberapa desa/adat dengan memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi pertanian perladangan dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja maupun tidak ditinggalkan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan desa/adat. Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem perladangan dan memasukkan tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa/adat dan bukan sebagai tanah negara.
Namun, desa/adatkan-desa/adatkan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menghapuskan pertanian perladangan memaksa Pemerintah Keresidenan waktu itu untuk mengubah peraturan perladangan tersebut. Dalam Peraturan Perladangan Kedua, disebutkan bahwa tanah-tanah perladangan tersebut digolongkan sebagai tanah negara bebas dan residen berhak melepaskan tanah-tanah tersebut dalam bentuk hak sewa.
Peraturan ini diperkuat oleh Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit) No. 6 tanggal 11 April 1900. Disini nampak bahwa pemerintah berusaha menempatkan residen, dan bukan pemerintahan desa/adat, dalam mengatur pengalokasian hutan-hutan sebagai perladangan. Walaupun tanah-tanah perladangan tersebut digolongkan sebagai tanah negara bebas, residen tetap beranggapan dan memperlakukan tanah-tanah perladangan sebagai tanah-tanah milik masyarakat sehingga tergolong pada tanah negara tidak bebas. Anggapan dan perlakuan ini muncul dikarenakan sistem sewa yang diberlakukan pada perladangan tidak memuat jangka waktu persewaan. Segera setelah pengakuan perladangan, melalui surat edarannya, Residen memerintahkan kepada asistennya agar secepatnya mengajukan usul-usul penunjukan perladangan agar sesegera mungkin dapat diakui.
Perubahan besar kemudian terjadi atas status hukum tanah perladangan tersebut. Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektur Urusan Agraria pada tahun 1909 membuktikan bahwa penduduk/komunitas masyarakat tidak memiliki hak atas tanah. Atas dasar penyelidikan ini, pemerintah mengeluarkan keputusannya (Gouvernement Besluit 9 November 1909) untuk mencabut perizinan perladangan di tanah-tanah hutan. Namun, Residen menolak keputusan ini dan akibat penolakan tersebut, pemerintah mempertimbangkan dan meninjau keputusannya kembali. Selain berpedoman bahwa tanah-tanah perladangan berada di wilayah hukum kekuasaan desa/adat, Residen juga khawatir seandainya keputusan penghapusan perladangan diterapkan, maka timbul pergolakan dan perlawanan dari masyarakat. Usaha-usaha pemerintah untuk mengubah sistem perladangan ke sistem sawah tidak membawa hasil dikarenakan pajak yang dianggap terlalu tinggi, persediaan air untuk irigasi tidak mencukupi dan hasilnya dianggap tidak memuaskan. Pada akhir tahun 1909, batas-batas wilayah perladangan telah definitive ditetapkan oleh Pemerintah Keresidenan. Selanjutnya, pada tahun 1924, Residen Banten mengeluarkan keputusannya (Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 no. 10453/7) dan menjadikan perladangan sebagai salah satu bentuk penggunaan tanah negara yang diatur dan disahkan oleh pemerintah.
Persoalan ini secara jelas menunjukkan adanya kebingungan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Keresidenan dalam mensikapi status hukum perladangan. Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan atas penyelidikan Inspektur Urusan Agraria, memutuskan agar perladangan dihapuskan karena penduduk/komunitas masyarakat tidak memiliki hak-hak atas tanahnya. Namun di sisi lain, Residen mengakui dan mencoba mengatur keberadaan perladangan dengan alasan hak-hak atas tanah perladangan berada dalam jangkauan hukum masyarakat desa/adat.
Politik Kehutanan dalam Penafsiran Tanah Negara
Pada awalnya, AW 1870 bertujuan sebagai landasan hukum bagi penyewaan tanah kepada perusahaan swasta untuk pengembangan perkebunan. Namun, seiring dengan waktu, azas domeinverklaring dalam AW 1870 ini juga menjadi dasar klaim bagi Jawatan Kehutanan atas penguasaan semua tanah hutan yang dianggap penting bagi fungsi hidrologi, klimatologi dan produksi kayu.
Dalam azas domeinverklaring, tanah-tanah negara terbagi atas dua yaitu tanah negara bebas dan tanah Negara tidak bebas. Yang termasuk tanah negara tidak bebas antara lain hak sewa, hak milik, hak pakai pribumi dan sebagainya, sedangkan yang termasuk tanah negara bebas adalah tanah-tanah liar yang ditelantarkan. Dalam tafsiran pemerintah, yang kemudian berlaku secara nyata di lapangan, bahwa tanah-tanah yang dipunyai oleh rakyat dengan tanah milik adat (agrarisch eigendom), demikian juga tanah-tanah ulayat adalah tanah domein Negara (Harsono, 2003).
Menarik untuk dicermati bahwa isu-isu konservasi seperti hidrologi dilebih-lebihkan (exaggerated) oleh Jawatan Kehutanan sebagai alat pembenaran atas penguasaan hutan dan sebagai upaya untuk menghilangkan hak-hak atas tanah ulayat serta menutup akses penduduk/komunitas masyarakat atas hutan.
Bagian tulisan ini mencoba menceritakan bagaimana sains kehutanan mempengaruhi jalannya perdebatan tentang status hukum tanah perladangan oleh penduduk/ komunitas masyarakat. Sejak petanian perladangan diakui status hukum oleh Residen Banten pada tahun 1924, berbagai keluhan – keluhan bahwa perladangan itu merusak hutan dan mengurangi debet air telah disampaikan oleh Jawatan Kehutanan dan Dinas Irigasi. Akibat desakan dari kedua lembaga pemerintah tersebut, pada tanggal 22 Juni 1933, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Perladangan yang diberi tugas untuk mempelajari kemungkinan penghapusan perladangan.
Dari hasil penyelidikannya, disimpulkan bahwa sistem pertanian perladangan, berdasarkan beberapa studi-studi, merusak kondisi tanah, pengaturan debet air (banjir di musim hujan dan kering di musim kemarau), dan kesuburan tanah. Selain itu pula, system perladangan telah menyebabkan kurangnya debit air di Sungai yang sangat dibutuhkan bagi peririgasian. Atas dasar kesimpulan ini, komisi tersebut merekomendasikan untuk memindahkan penduduk/komunitas masyarakat ke dataran rendah dan membangun sawah-sawah sebagai pengganti perladangan mereka. Direkomendasikan pula agar pemerintah melarang secara hukum system perladangan di dalam hutan.
Sudah barang tentu hasil study dan penyelidikan dari komisi perladangan ini wajib untuk diragukan apalagi motif pembentukan dan tugasnya untuk menghapuskan sistem perladangan dan syarat dengan kepentingan akan penguasaan lahan oleh pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Keresidenan, karena berdasarkan pengalaman dan praktek pengelolaan lahan dengan system perladangan masyarakat secara turun temurun justru sangat bertentangan dengan hasil kesimpulan komisi tersebut.
Gubernur Jawa Barat, di dalam suratnya tanggal 2 September 1932, menganggap kesimpulan-kesimpulan yang disampaikan oleh Komisi Perladangan tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diterima. Ketiadaan data kuantitatif tentang menurunnya debet air Sungai sejak hutan dibuka bagi perladangan melandasi penolakan gubernur atas kesimpulan Komisi Perladangan tersebut.
Perdebatan ini semakin menghangat ketika Jawatan Kehutanan telah menata batas dan memetakan tanah-tanah hutan sebagai kawasan hutan negara. Sejak tahun 1914 hingga tahun 1935, sekitar 137.837 ha tanah-tanah hutan telah ditatabatas dan disahkan oleh Gubernur Jenderal sebagai kawasan hutan negara. Proses penataan batas dan pengesahan ini dipersoalkan bahkan banyak terjadi tumpang-tindih dengan perladangan-perladangan penduduk/komunitas masyarakat. Disamping itu Penilaian ini didasari atas argumen bahwa tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi perladangan-perladangan tersebut memiliki kekuatan hukum yang sah berupa hak sewa. Batas-batas kawasan perladangan telah secara definitif dipetakan pada tahun 1911 dan disahkan pada tahun 1924 oleh Residen.
Jawatan Kehutanan mempertahankan status penguasaan hutan sebagai hutan negara dengan berargumen bahwa selama proses penataan batas dilakukan, tidak terbukti adanya hak-hak kepemilikan penduduk/komunitas masyarakat atas tanah-tanah hutan tersebut. Jawatan Kehutanan menafsirkan perladangan sebagai tanah negara dan masyarakat tidak memiliki hak-hak atas tanah-tanah perladangan tersebut. Selain itu pula, Jawatan Kehutanan menunjukkan bukti-bukti bahaya pengelolaan pertanian perladangan pada fungsi hidrologi, klimatologi dan kesuburan tanah.
Pada tahun 1932, Komisi Agraria dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan menyarankan agar pemerintah menghapuskan azas domeinverklaring karena secara praktek dianggap melanggar. Perdebatan tentang status hukum tanah-tanah perladangan dan kawasan hutan negara dicoba diselesaikan oleh Gubernur Jawa Barat. Gubernur memutuskan agar kedua belah pihak memetakan kembali mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi perladangan dan mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi kawasan hutan negara. Sayangnya, hingga akhir penjajahan Belanda tahun 1942, perdebatan atas status hukum tanah-tanah perladangan di dalam hutan negara masih belum jelas.
Dari ulasan tinjauan sejarah legalitas ini, nampak bahwa sengketa tanah-tanah perladangan tersebut adalah akibat dari ketidak konsistenan pemerintah, dari masa Hindia Belanda hingga kini, untuk menyelesaikan status hukum perladangan atas tanah-tanah hutan tersebut. Ketidak pastian hukum mengenai tanah-tanah perladangan baik di masa Hindia Belanda maupun kini telah menyebabkan tiadanya perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat atas tanah-tanah perladangan mereka. Hingga kini, masyarakat di Kelurahan Battang Barat masih mempraktekkan sistem pertanian perladangan di Wilayahnya yg diklaim sebagai Kawasan Wisata Alam Naggala III, namun peraturan-peraturan kehutanan melarang sistem perladangan tersebut, bahkan kebun/lahan dan pemukiman masyarakatpun secara keseluruhan masuk dalam wilayah konservasi tersebut.
Kasus Battang Akibat Ketidakpastian Status Hukum Tanah-Tanah
Perladangan di Kawasan Hutan
Status tanah-tanah perladangan pernah diangkat kembali paska kemerdekaan. Persoalan status tanah ini bahkan meluas ke daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada awal tahun 1950an, Pemerintah Indonesia membentuk Panitia Pembangunan Wilayah Hutan dan Pertanian di seluruh Jawa, termasuk wilayah Jawa Barat dan Banten. Tujuan dari pembentukan panitia ini adalah untuk menyelesaikan persoalan status tanah-tanah garapan dan pemukiman penduduk/komunitas masyarakat di kawasan hutan negara, termasuk perladangan-perladangan. Panitia tersebut menyarankan agar perladangan-perladangan dan pemukiman penduduk/komunitas masyarakat tersebut diakui sebagai perkampungan kehutanan. Sayangnya, tidak ada informasi selanjutnya tentang tindak lanjut dari saran/ rekomendasi panitia tersebut.
Berdasarkan berbagai tinjauan tersebut diatas, maka permasalahan/konflik lahan di Battang Barat antara masyarakat dengan pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam dimana kawasan hutan nanggala III tersebut dialih fungsikan sebagai kawasan konservasi yang berada di bawah pengelolaan Taman Wisata Alam Nanggala III dalamhal ini secara teknis pengelolaannya dibawah kewenangan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam “ BKSDA’, merupakan warisan masalah yang sampai hari ini tidak ada satupun bentuk penyelesaian dari pemerintah dan pemerintah daerah. Meskipun beberapa inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat guna menyelesaian konflik tersebut seperti; Pengajuan surat tertanggal, 17 Desember 2004 prihal permohonan Ingklave atas lokasi kebun/peladangan dan pemukiman masyarakat kepada Walikota Palopo yang justru oleh Pemerintah Kota Palopo ”Walikota Palopo” dijawab dengan mengeluarkan rekomendasi perluasan wilayah Taman Wisata Alam Nanggala III seluas 400 Ha.
Hal ini semakin menjelaskan kepada kita bahwa Pemerintah masih beranggapan bahwa tanah-tanah perladangan/pemukiman oleh masyarakat tersebut sebagai perambahan hutan sehingga layak untuk direhabilitasi, direboisasi bahkan direlokasi sekalipun. Namun, pada kenyataannya, masyarakat masih menggarap tanah-tanah perladangan tersebut. Selain tidak memahami sejarah legalitas tanah-tanah perladangan tersebut, pemerintah beranggapan bahwa bentuk pengelolaan perladangan tersebut berlawanan dengan prinsip-prinsip konservasi dan keanekaragaman hayati menurut peraturan-peraturan kehutanan.
Ketiadaan bentuk penyelesaian tersebut masih berlanjut hingga saat ini bahkan ketika wilayah Battang Barat dimekarkan dan di defenitifkan menjadi Kelurahan yang secara otomatis wilayah administrasi serta bangunan-bangunan baik fasilitas umum maupun kantor kelurahan masuk dalam wilayah/lokasi Taman Wisata Alam, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan hal tersebut melanggar hukum, puncak dari ambiguisitas hukum dan penerapan hukum ini sangat kontras terlihat ketika salah seorang masyarakat Battang Barat dijebloskan kedalam tahanan oleh pihak BKSDA yakni Bapak “Dani/Mantong” salah satu dari korban bencana alam lonsor yang ditangkap dan ditahan karena mendirikan rumah dari bekas/puing-puing sisa bangunannya atas izin dari pemerintah kelurahan yang sekaligus oleh PU Bina Marga Wilayah Sulawesi – Selatan secara lisan mengiyakan pembangunan rumah tersebut dipinggir jalan yang masuk sebagai Daerah Milik Jalan (DMJ) yang merupakan kewenagannya. Pak Dani alias Manton oleh PU Binamarga sekaligus ditugaskan sebagai petugas lapangan dan penjaga peralatan dilokasi tersebut.
Kasus ini terus berlanjut dan diproses melalui pengadilan dan hasil Hakim kemudia memutuskan, Hukuman percobaan selama 6 Bulan Penjara dan Denda 1 Juta atau Kurungan Badan selama 1 Bulan. Putusan Hakim ini dinilai sangat controversial mengingat semua saksi meringankan dari pihak terdakwa tidak ada yang diterima, apalagi Dakwaan Hukum terhadap Dani/Manton dari Jaksa Penuntut berupa Ancaman diatas 5 (Lima) Tahun penjara. Putusan Hakim yang controversial ini tidak terlepas dari pengaruh tekanan massa dari masyarakat Battang yang senantiasa hadir dalam setiap persidangan kasus ini. Disamping itu pula massa masyarakat Battang juga terus melakukan tekanan politik ke DPRD dan Pemkot Palopo. Berbagai bentuk aksi protes dilakukan oleh masyarakat Battang mulai dari aksi turun kejalan, hearing dgn DPRD serta Pemkot Palopo sampai pada aksi penutupan jalan poros Palopo – Toraja serta pengibaran bendera setengan (½) Tiang pada saat perayaan hari kemerdekaan RI.
Konflik ini terus berlangsung dan kasus Dani/Mantong menjadi pemicu dari persoalan Klaim Tata Batas yang sebelumnya bersifat Laten menjadi Manifes. Kasus inipun semakin meneguhkan keyakinan dan membulatkan tekad masyarakat untuk terus menyuarakan dan mendesakkan penyelesaian Konflik Tata Batas tersebut. Konsekwensi dari tekanan massa rakyat yang terus dilancarkan membuat Pemkot dan DPRD Kota Palopo membuat sebuah Tim Penyelesaian dan pengusulan Penataan Batas melalui Keputusan Walikota Palopo Nomor : 670 /VIII / 2010 Tentang Pembentukan Tim Pengelola Usulan Perubahan Tapal Batas Kawasan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam Naggala III dengan Lokasi Pemukiman Masyarakat, yang kemudian disusul dengan Keputusan Walikota Palopo Nomor : 689 / IX / 2010 Tentang Perubahan Lampiran Atas Keputusan Walikota Palopo Nomor : 670 /VIII / 2010 tertanggal 28 September 2010 dengan Susunan Tim sebagai berikut :
Pengarah : 1. Walikota Palopo 2. Wakil Walikota Palopo 3. Ketua DPRD Kota Palopo
Penanggung Jawab : Sekretaris Daerah Kota Palopo
Koordinator : Asisten Tata Pemerintahan Setda Kota Palopo
Ketua : Kadis Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo
Wakil Ketua : Kepala Kantor Pertanahan Kota Palopo
Sekretaris : Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Palopo
Wakil Sekretaris : Kepala Bagian Hukum Setda Kota Palopo
Anggota (Tim Teknis) :
- Kadis Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Palopo
- Kepala UPTD Wilayah I Bina Marga Kota Palopo
- Kepala Bappeda Kota Palopo
- Kadis Sosnakertrans Kota Palopo
- Kepala Bidang Program Dishutbun Kota Palopo
- Kepala Bidang Kehutanan Dishutbun Kota Palopo
- Camat Wara Barat Kota Palopo
- Kepala Seksi Sengketa Konflik & Perkara Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Palopo
- Kepala Seksi Pengaturan & Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Palopo
- Kepala Seksi Penyusunan Program Dishutbun Kota Palopo
- Kasi Monitoring & Evaluasi Bidang Program Dishutbun Kota Palopo
- Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dishutbun Kota Palopo
- Kasubag Produk Hukum Daerah Bagian Hukum Setda Kota Palopo
- Lurah Battang Barat Kota Palopo
- M. Zakir (Tomakaka Battang)
- Zainal Ahmad (Masyarakat Battang Barat)
- Samin (Masyarakat Battang)
Pada Tanggal 25 Maret 2011 Walikota Palopo Melayangkan Surat Permohonan Rekomendasi Kepada Gubernur Sulawesi Selatan dengan Nomor : 522/…….. / Hutbun/III/2011 atas dasar menindaklanjuti aspirasi masyarakat Kelurahan Battang Barat Kec. Wara Barat Kota Palopo dalam Rangka Peninjauan Ulang (Revisi) Tata Batas TWA Naggala III. Dimana Pemerintah Kota Palopo akan melakukan Konsultasi kepada Kementerian Kehutanan mengenai Peninjauan Ulang Tata Batas kawasan hutan antara Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III dengan Areal Pemukiman dan Lahan Budidaya Pertaniannya.
Guna mengawal sekaligus menyiapkan data yang juga berfungsi sebagai data perbanding Hasil Investigasi dan inventarisasi Tim yang dibentuk oleh Pemkot Palopo, maka Serangkaian kegiatan mulai dari Pemetaan Partisipatif Wilayah Masyarakat serta Pendokumentasian Sejarah dan Kearifan-kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Alam dilakukan oleh masyarakat bersama dengan LSM Pendamping.
Perjalanan yang cukup panjang, kurang lebih selama 1 Tahun akhirnya Proses Advocasi untuk Mediasi konflik ini berujung pada kesepakatan antara Tim dan Masyarakat untuk Konsultasi sekaligus Beraudience langsung dengan Mentri Kehutanan. Proses mediasi ini dilakukan secara bertahap mulai dari Mediasi dgn Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam di Makassar dan Dishut Kehutanan Sulsel sampai pada. Proses ini kemudian menghasilkan Kesepakatan Bersama untuk segera Menyusun Perda Tentang Pengakuan Masyarakat Adat dan Hak-Haknya sebagai Prasyarat untuk mendapatkan Pengakuan Hak atas wilayah sekaligus dasar untuk pengajuan Perubahan Tata Batas Kawasan Hutan dan Koservasi Naggala III yang berada diwilayah Kota Palopo. Saat ini Proses tersebut sudah memasuki tahap penyiapan Finalisasi Data baik berupa Peta Wilayah (Geospasial) maupun Sosial Ekonomi, dimana data-data ini sekaligus akan dijadikan bahan untuk penyusunan Rencana Detail Tata Ruang wilayah di masing-masing Kampung sebagai bagian dari Rencana Umum Tata Ruang Kota Palopo.
Pemerintah sejak dini seharusnya menyelesaikan sengketa tanah ini agar pengelolaan Taman Wisata Alam Naggala III tidak terganggu, namun tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat atas tanah-tanah perladangan dan ruang tempat mereka menggantungkan hidup yang sudah sejak turun temurun mereka kuasai dan kelola, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka juga berkontribusi terhadap pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah ini.
Sudah Saatnya Hukum Bukan Jadi Konstruksi Sosial,
Tapi Menjadi Realitas Akan Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World