Hidup Tak Tenang, Mata Pencaharian Menghilang

Dampak  Konflik Kehutanan di Kelurahan Battang Barat

GambarHidupnya tidak tenang karena selalu dihantui ketakutan, merekapun kesulitan mendapatkan penghasilan karena kebun-kebun yang dulu jadi tumpuan ekonomi keluarga sudah tidak bisa digarap lagi.

Begitulah penderitaan yang dialami masyarakat Battang Barat sejak kampung –kampung dan wilayah kelola mereka diklaim Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III.

Hidup di wilayah konflik kehutanan, sungguh jauh dari ketenangan dan kenyamanan. Setiap saat selalu dihantui rasa ketakutan jika mau memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan mengambil hasil hutan meski itu bukan kayu.  Apalagi sudah ada berapa warga yang divonis penjara. Tahun 2010 lalu, seorang warga Kelurahan Battang Barat, yaitu Pak Mantong  divonis penjara hanya karena  mengganti rumahnya terkena longsor yang  diklaim BKSDA sebagai lokasi TWA Nanggala III.

‘’Pokoknya masyarakat di sini hidupnya sangat susah.  Selain tidak nyaman juga kesulitan penghasilan.   Sebelum masuk hutan konservasi dan hutan lindung, kami masih bisa memperoleh hasil dari kebun,  tapi sekarang tidak ada lagi masyarakat yang berani mengola kebun-kebunnya karena ketakutan melanggar aturan dari Dinas Kehutanan Kota Palopo dan BKSDA. Jadi tumpuan ekonomi keluarga beralih ke ibu rumah tangga dengan menjual baje,’’ kata  Pak Daming Abu Ketua RW Tanete Kelurahan Battang  Barat.

Namun demikian, masyarakat  tidak pernah berhenti berjuang dan berharap agar wilayah kelolanya dikeluarkan dari hutan lindung dan hutan konservasi TWA Nanggala III. Jika sudah begitu, masyarakat berjanji akan tidak akan mengganggu hutan lindung dan TWA, bahkan bersedia membantu Dinas Kehutanan dan BKSDA menjaga kawasannya.

Berbagai upaya sudah ditempuhnya, mulai aksi protes melalui demonstrasi, hearing ke DPRD Kota Palopo, hingga perwakilan mereka harus ke Makassar dan Jakarta untuk mencari jalan supaya wilayah kelolanya dikelurakan dari kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Termasuk upaya menggugat Tata Ruang Kota Palopo, yang dianggap tidak pro kepada masyarakat Kelurahan Battang Barat.  Pasalnya, ruang hidup masyarakat Battang Barat yang berjumlah 247 KK hampir tidak ada. Sementara Perda Kota Palopo No 3 Tahun 2005 telah menetapkan Kelurahan Battang Barat sebagai kelurahan definitif. Jika demikian, Pemkot Palopo memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya yang nota bene berstatus warga negara yang sah karena memiliki KTP. Namun kenapa hak-hak mereka masih dihiraukan?

Mereka juga tetap berharap supaya Pemerintah mau peduli  terhadap kehidupan warganya yang ada di Kelurahan Battang Barat dan merespon melalui kebijakan yang pro rakyat dengan mengeluarkan wilayah kelolanya dari hutan lindung dan hutan konservasi supaya mereka memiliki ruang untuk hidup.

Harapan itu disampaikan Ketua RW Tanete, Daming Amu ketika ditemui di rumahnya di Kampung Tanete.  ‘’Kita ini tidak memusuhi kehutanan. Kita tidak memusuhi BKSDA. Tapi ya kalau bisa pemerintah ke depan bisa memberikan dan memperjelas batasan-batasan.  Artinya kalau hutan lindung dan TWA keluarkan dari wilayah kelola masyarakat. Biar kami bisa mengelola wilayah kami, dan kami juga akan membantu kehutanan dan BKSDA untuk menjaga wilayahnya. Ya, berikanlah kami punya hak. Begitu saja,’’ tegas laki-laki paruh baya yang akrab disapa Bapak Eva. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea