Konflik Klaim Hutan Lindung Battang Barat, Potret Kebijakan yang Tidak Partisipatif
Oleh : Hajar Alfarisy
(Ditulis dari hasil advokasi di Battang Barat pada 17 Desember 2011)
Battang Barat merupakan daerah yang terletak di sebelah barat Kota Palopo, Propinsi Sulawesi Selatan, daerah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Toraja Utara. Secara geografis merupakan daerah pegunungan, dihuni oleh masyarakat adat Ba’tan yang telah ada sejak zaman Belanda, daerah ini dikenal dengan nama kampong to’ Jambu. Kawasan tersebut dihuni sekitar 220 kepala keuarga. Sekitar tahun 1950 masyarakat adat Ba’tan masuk kedalam hutan disebabkan ketakutan pada tentara yang melakukan operasi militer, mereka masuk bersama tentara Abdul Qahar muzakkar yang melakukan perjuangan penegakan syariat islam (DI/TII). Selama satu tahun masyarakat adat Ba’tan berada didalam hutan lalu kembali kelokasi pemukiman asal mereka yang sekarang dikenal dengan Battang Barat.
Awal Mula Kepemilikan Lahan Serta Konflik
Sekitar tahun 1960 warga yang kembali ke daerah kampong (perkampungan) to’ Jambu, bermukim serta mengelola lahan yang mereka semula tinggalkan. Selain masyarakat asli yang datang menempati lahan tersebut, datang juga masyarakat dari luar kampong to Jambu, bahkan sekitar tahun 1968 – 1969 pejabat – pejabat pemerintahan datang untuk menempati lahan di daerah tersebut seperti Mayor Palimbong, Andi Oddang (Gubernur Sulsel), Samad Suaib (Bupati Luwu), Andi Lolo (Bupati Toraja), Panglima Aziz, serta masyarakat Toraja yang memiliki kedekatan wilayah dengan Battang Barat . Mayor Palimbongan memberikan sumbangsih besar terhadap cara bercocok tanam serta mendatangkan tanaman seperti cengkeh dan kopi robusta (Ayyub, to’ matua to Jambu).
Lokasi hutan yang ditempati oleh pejabat pejabat dari luar inilah yang paling banyak masuk ke dalam wilayah hutan lindung, luasnya ± 75, 71 H (hasil pemetaan partisipatif masyarakat Battang Barat, YBS, WALLACEA; 2010). Pendatang dari luar begitu mudah memperoleh lahan dikarenakan kondisi pisikologis masyarakat yang begitu takut dengan seragam militer dan pejabat pemerintahan pada zaman Orde Baru (orba).
Daerah Battang Barat, secara geografis merupakan pegunungan berpotensi untuk terjadinya longsor. Tahun 1987 terjadi longsor yang mengakibatkan 5 korban jiwa satu janda, dua orang suami istri, serta dua lagi korban laki laki dewasa dan perempuan. Setiap keluarga korban diberikan santunan 5 juta, Bupati Luwu pada saat itu masih dijabat oleh Mubaradappi. Pemerintah provinsi membuat kebijakan relokasi terhadap warga Battang Barat. H. Hamzah, kepala desa Battang Barat menandatangani kesepakatan transmigrasi warga ke Luwu Utara Kecamatan Lara (Lara VIII) sebagai hasil dari rapat pertemuan dengan pemerintah propinsi dan Kotip Palopo. Kebijakan transmigrasi tersebut menimbulkan permasalahan, Warga to’ jambu menolak pemindahan, dikarenakan tidak adanya warga yang terlibat didalam pengambilan keputusan itu, warga to’ jambu menolak termasuk Ayyub (sekarang to mato ba’tan) ketua RT pada saat itu. Ayyub melakukan penolakan dengan melakukan persuratan lewat kotak pos kepada pemerintah Palopo, Ujung Pandang (sekarang Makassar,-red) namun tidak direspon, sampai akhirnya beliau mengirim surat ke pemerintah pusat (Kehutanan) dan akhirnya tim dari Jakarta-pun turun. Dalam surat tersebut ia mengatakan,“ kerusakan atau masalah yang terjadi dikarenakan petani – petani berdasi.” Konflik-pun mulai terjadi. Meskipun banyak warga menolak rencana transmigrasi, namun akhirnya kebijakan tersebut dijalankan. Transmigrasi dibagi dalam tiga kelompok. Pemerintah membujuk warga dengan kata-kata. “kenapa tidak pergi, biarmi orang tua yang tinggal.“ bahkan dengan nada ancaman seperti mau di tenggelamkan di laut.
Konflik di Daerah Transmigrasi
Warga yang telah di transmigrasikan ke daerah Lara, tepatnya di Kecamatan Lara, Kabupaten Luwu Utara disediakan lahan seluas 1 ¼ hektar termasuk di dalamnya rumah tempat tinggal, serta dijamin biaya kehidupan selama satu tahun. Sekitar satu tahun di lahan transmigrasi, timbul konflik tanah antara penduduk asli dengan warga Battang Barat. Manggabarani, yang pada saat itu menjabat Kapolda Sulawesi Selatan datang ke lokasi untuk menyelesaikan masalah tersebut namun timbulnya konflik tersebut membuat masyarakat adat to’ Jambu merasa tidak hidup nyaman. Akhirnya sejak tahun 1989 warga Battang Barat kembali daerah asal adat to Ba’tan di Battang Barat meskipun tidak bersamaan.
BKSDA Vs Warga Adat Ba’tan To Jambu
Kembalinya masyarakat adat Ba’tan di daerah asal mereka (Battang Barat,-red) ternyata membuat konflik baru. Awalnya warga menempati kembali daerah yang telah mereka tinggali pada saat ikut dalam transmigrasi. Aktifitas pertanian dengan corak perkebunan kembali digeluti oleh warga Battang Barat. Menurut Zaenal Ahmadi, selain itu warga juga melakukan aktifitas penangkapan kupu-kupu. Penangkapan kupu-kupu ini telah menjadi kebiasaan atau pekerjaan warga adat Ba’tan sejak dahulu, namun warga melakukan itu jika ada permintaan dari daerah luar seperti Bantimurung, Kabupaten Maros.
Dalam rutinitas warga masyarakat to Jambu, Battang Barat yang kembali menggeluti aktifitas perkebunan khas dataran tinggi. Timbul konflik-konflik yang mengakibatkan ketegangan antara warga dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Konflik yang terjadi seperti pencabutan tanaman perkebunan warga seperti kopi, cengkeh,selain itu hasil kekayaan alam hutan berupa rotan, kayu kering yang diambil dari hutan dipotong potong oleh petugas BKSDA. Korban dari perlakuan kasar dari petugas BKSDA seperti orsan, tarubbua, linggi, pak sarma (Kesaksian Darmin Amu). Selain perlakuan berupa pencabutan dan pemotongan tanaman serta kekayaan alam warga, petugas BKSDA selalu berbicara kasar terhadap warga Battang Barat.
Jika dilihat mendalam Sebenarnya masalah ini bermula dari penetapan kawasan hutan lindung tahun 1983 oleh Menteri Kehutanan yang tidak partisipatif. Pemetaan penetapan kawasan hutan lindung itu tidak diketahui oleh warga Battang Barat. Menurut Darmin Amu yang juga tokoh masyarakat Battang Barat, pemerintah tidak pernah melibatkan warga Battang Barat dalam penentuan tapal batas kawasan hutan lindung apa lagi daerah ini adalah kawasan adat dan batas wilayah telah ada sejak zaman pra kemerdekaan.
Upaya-upaya merelokasi warga kembali diupayakan oleh pemerintah kota palopo setelah terjadi longsor di Battang Barat pada bulan September 2009 yang menimbulkan 13 korban jiwa. Rencana itu di tolak oleh warga. ‘’Kalau kami masyarakat mau dipindahkan lebih baik panggil semua masyarakat disini untuk berbaris lalu bunuhlah kami satu persatu,’’ kata Daming Amu, Warga Battang Barat menolak pemindahan keluar dari Battang Barat.
Puncak konflik antara warga Battang Barat dengan BKSDA terjadi, saat salah seorang warga Battang Barat Dani Mantong ditangkap oleh BKSDA tanggal 22 Februari 2010. Proses penangkapan yang tidak melalui prosedur menimbulkan kekesalan warga yang baru mengetahui setelah Pak Mantong ditahan dua hari di LAPAS Kota Palopo. Dani Mantong yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Pa’ Mantong. Tinggal di sebuah rumah darurat pasca bencana longsor di kawasan permukiman dengan ukuran 5×7 meter. Akhirnya ditahan tanpa alasan yang jelas serta prosedur penangkapan yang benar.
Awalnya Pa’ Mantong, yang pada hari itu berangkat ke Kota Palopo dipanggil ke kantor BKSDA. Setelah Pa’ Mantong membayar cicilan motornya, lalu ke kantor BKSDA dan diinterogasi oleh pihak BSDA bernama Hasanuddin. Pa’ Mantong yang belum makan siang diajak keluar dengan dalih bahwa pihak BKSDA akan mentraktir makan, namun ternyata Pa’ Manttong di arahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kota Palopo. Dari penangkapan inilah warga mulai mengetahui alasan kenapa Pa’ Mantong ditangkap dan menjawab semua keresahan warga yang selalu mendapat perlakuan kasar dari petugas BKSDA. Kenapa tanaman mereka dicabut serta hasil kekayaan alam yang mereka peroleh dirusak oleh BKSDA. Ancaman pembongkaran rumah yang dilakukan oleh pertugas BKSDA bahkan mengintimidasi warga Battang Barat. Ungkapan yang sering dikatakan oleh petugas BKSDA, yang dinilai warga melukai dan menjajah hak mereka, “rumah ini adalah rumah kalian, tetapi tanah ini milik kami.“ Klaim hutan konsevasi BKSDA mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No 663/Kpts-11/1992, Surat Keputusan Gubernur Nomor 276/ IV/1999, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 890/Kpts-II/1999 yang menjelaskan bahwa wilayah Battang Barat termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Nanggala 3. Dalam keputusan itu menunjukkan bahwa sekitar ±500 hektar tanah yang dikelola rakyat masuk dalam kawasan konservasi.
Keputusan tersebut menurut warga Battang Barat merupakan suatu hal yang keliru dikarenakan tidak melibatkan warga sebagai obyek atau orang yang akan terkena dampak dari kebijakan itu. Beberapa starting point yang dianggap merupakan kesepakatan dari warga menurut pemerintah yang ditolak warga di antaranya :
Behwa menurut pernyataan dari pemilik tanah yang tanahnya berbatas dengan kawasan hutan, berdasarkan dari wakil – wakil penduduk/persekutuan hukum sebagaimana yang tercantum pada berita acara pengakuan hasil pembuatan batas fungsi kawasan hutan 28- 10- 2004 dalam kawasan tersebut tidak terdapat lagi tanah tanah dan atau bangunan beserta tanaman.tumbuh terhadap mana mereka mempunyai hak milik. (Draft Departemen Kehutanan Badan Planologi Hutan Lindung Nanggala 3 Kecamatan Telluwanua Kota Palopo)
Berita acara ini adalah sebuah kebohongan karena tidak pernah ada perwakilan dari warga Battang Barat dalam pertemuan tersebut. Selain itu adanya nama warga yang disebut sebagai perwakilan warga dalam berita acara itu adalah tidak benar, seperti adanya nama Abdul Waris yang dianggap tokoh masyarakat, padahal warga tidak pernah mewakilkan kepada siapapun (Kesaksian: Ayyub to matua Ba’tan). Dari rentetan peristiwa pengalihan kawasan kelola masyarakat menjadi hutan lindung tersebut menunjukan adanya kebijakan yang tidak partisipatif.
Penangkapan Pa’ Mantong yanng mengungkap semua bentuk kebijakan yang dibuat pemerintah membuat warga melakukan inisiatif meminta pendampingan terhadap kasusnya. Warga Battang Barat bekerjasama dengan Yayasan Bumi Sawergading (YBS) dan Perkumpulan Wallacea Palopo. Pendampingan dimulai dengan upaya pembebasan terhadap Pa’ Mantong yang ditahan di LAPAS Palopo. Mantong ditahan tanpa diadili kemudian divonis 4 bulan merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan yang melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) untuk memperoleh keadilan. Aksi-aksi pendampingan yang dilakukan oleh mahasiswa, Yayasan Bumi Sawergading (YBS) dan Perkumpulan Wallacea Palopo dilakukan sejak bulan April sampai September 2010. Pendampingan ini berhasil membebaskan Pa’ Mantong sehingga hanya menjalani kurungan penjara selama 2 bulan, dan dua bulan tahanan luar. Sampai saat ini konflik masih berlangsung dikarenakan pemerintah masih terus berupaya memindahkan warga dari tanah tempat kelahirannya dengan alasan bencana alam.
‘’Kami dari warga mengharapkan agar batas wilayah BKSDA yang masuk kedalam wilayah hak kelola masyarakat agar digeser, sehingga kami bisa mengelola tanah yang telah kami kelola dari dulu,’’ tegas Zaenal Ahmadi.
Kategori
- Film Dokumenter
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Publikasi
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World