KPA Persiapkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria dan Sistem Perkebunan Sawit yang Berkeadilan
Saat ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tengah menginisiasi dan mendorong Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk mengkritisi program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang dinilai tidak sejalan dengan spirit reforma agraria sejati. Pasalnya, penetapan lokasi TORA tidak berdasarkan atas inisiatif organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat tani yang berada di wilayah konflik agraria (bottom up). Pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi cenderung tidak mengakomodir penyelesaian konflik-konflik agraria sehingga dikhawatirkan tidak berjalan sesuai tujuan RA sejati itu sendiri, diantaranya menyelesaikan konflik, mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, dan memperkuat hak petani atas tanah.
Hal itu disampaikan Ferry Widodo, Departemen Penguatan Organisasi (PO) Seknas KPA pada Konsolidasi Gerakan Reforma Agraria yang dilaksanakan Seknas KPA bersama KPA Wilayah Jambi yang dihadiri Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), OXFiAM Indonesia dan bemberapa organisasi tani jaringan KPA, Senin, (13/11) di Mayang Baru, Jambi.
Sejatinya, lanjut Ferry, Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang tengah didorong KPA merupakan solusi di tengah ketidakpastian pelaksanaan reforma agraria sejauh ini. Alasannya, LPRA merupakan lokasi-lokasi yang secara kategori telah memenuhi syarat reforma agraria, seperti sedang berkonflik, mempunyai serikat/organisasi tani, telah digarap secara penuh oleh petani secara mandiri.
”KPA telah berhasil melakukan pendataan LPRA di 409 lokasi konflik dan tersebar di 19 provinsi dengan luasan 643.616 hektar dengan melibatkan 136.804 KK. Dengan asumsi satu KK rata-rata empat orang, artinya ada setengah juta lebih petani saat ini tengah menghadapi ketidakpastian terkait hak mereka atas tanah. Angka ini pun kemungkinan akan bertambah besar. Pasalnya, masih ada sedikitnya 1.502.600 hektar potensi LPRA untuk tahap kedua,” ujar Ferry.
Pendataan LPRA merupakan praktik reforma agraria dari bawah yang coba didorong KPA, yang mana prosesnya langsung diinisiasi oleh 77 serikat tani dan organisasi masyarakat sipil anggota KPA di berbagai wilayah.
Di Jambi sendiri, untuk tahap pertama terdapat 20 lokasi LPRA dengan total luasan 11.201 hektar (red: hutan dan non-hutan). Angka tersebut menjadi alat tawar oleh KPA wilayah Jambi guna terus mendorong penyelesaian konflik di tingkat daerah.
Pada kesempatan itu pula, Ferry Widodo menyampaikan Sistem Perkebunan yang Berkeadilan sebagai prioritas kerja dari KPA.Masifnya perkembangan perkebunan skala besar utamanya sawit di Indonesia berbanding lurus dengan konflik agraria yang terus meningkat. Sebagai provinsi yang mempunyai luasan perkebunan sawit yang cukup besar, Jambi juga menjadi salah satu provinsi yang rentan terjadinya konflik agraria sebagai imbas dari cepatnya pertumbuhan perkebunan sawit tersebut. Walaupun diklaim sebagai salah satu komoditas penyumbang terbesar devisa Negara, pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa ekspansi dan perluasan perkebunan sawit oleh korporasi-korporasi skala besar ini juga menjadi salah satu penyebab utama konflik agraria.
Kurun waktu 2016 saja, KPA mencatat telah terjadi 163 konflik di atas lahan seluas 601.680 hektar di sektor perkebunan. Sebagian besar konflik tersebut terjadi di area perkebunan sawit, utamanya yang dimiliki korporasi skala besar.
Ferry menyebutkan data dari beberapa kementerian mengenai perluasan perkebunan kelapa sawit. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, setiap tahun, angka penguasaan tanah bagi perkebunan kelapa sawit terus merangkak naik. Dalam 5 tahun terakhir saja, telah bertambah 3 juta hektar luas lahan perkebunan kelapa sawit. Fakta ini menunjukkan bahwa moratorium yang diberlakukan pemerintahan Jokowi-JK belum mampu membendung libido ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Demikian juga data pemberian HGU oleh Kementrian ATR/BPN menjadi penyebab utama. Pada tahun 2013, terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 hektar. Di dalamnya terdapat 10.368 sertifikat HGU, namun luasannya mencapai 46 % atau sekitar 33.5 juta hektar dari tanah bersertifikat tersebut. Artinya HGU yang diberikan didominasi oleh perusahaan kelapa sawit skala besar.
Sementara itu, di tengah carut marut situasi di atas, DPR RI justru mendorong RUU Perkelapasawitan yang dinilai anti terhadap kesejahteraan petani, utamanya buruh tani dan petani plasma. Pasalnya, semangat yang diusung rancangan peraturan ini lebih condong kepada perlindungan industri perkebunan sawit ketimbang buruh, petani mandiri dan plasma sawit.
Situasi ini bukannya tidak direspon berbagai pihak. Pemerintah dan para korporasi pun telah membentuk sistem kerjasama antara perusahaan dengan petani dengan menawarkan skema kemitraan. Namun kemitraan yang ditawarkan tersebut belum menjawab problem ketimpangan struktur agraria yang terjadi di lapangan. Program tersebut justru semakin melegitimasi ketergantungan buruh tani dan petani plasma kepada dominasi korporasi.
Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil perlu menginisiasi skema yang lebih berkeadilan di sektor perkebunan. KPA sendiri telah mempersiapkan sistem pendukung bagi serikat/organisasi tani anggota yang berkonflik dengan pihak perusahaan perkebunan (swasta) dan telah dilakukan tahapan-tahapan awalnya sejak tahun 2015 dengan menerapkan 9 prinsip kemitraan berkeadilan. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi panduan dan arahan utama KPA. Model kemitraan yang hendak ditawarkan haruslah betul-betul sesuai dengan prinsip reforma agraria.
Hilirisasi peran perusahaan di sektor pengolahan hasil panen petani dan distribusi hasil menjadi nilai yang penting untuk menekankan prinsip keadilan, sebagai salah satu indikator bahwa transformasi yang diharapkan telah terbangun. Prinsip-prinsip tersebut, menjadi nilai-nilai dasar termasuk indikator untuk membangun peta jalan bagi pembangunan Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA) di sektor perkebunan, khususnya di lokasi-lokasi garapan serikat/organisasi tani anggota KPA. (*)
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World