Mokobo Masyarakat Adat Seko Tengah Menolak Pembangunan PLTA

Penolakan keras masyarakat adat Seko Tengah terhadap rencana PLTA terus berlangsung di Desa Tanamakaleang, Hoyane dan Embonnatana. Warga di tiga desa menolak tanah tempat tinggal dan lahan sawah akan ditenggelamkan menjadi bendungan.

Melalui Mokobo atau Musyawarah Besar Masyarakat Adat Seko Tengah pada tanggal 24 Januari 2018 yang melibatkan MA Pohoneang, Hoyane dan Amballong memutuskan penolakan PLTA di wilayahnya.

Mokobo yang digelar tesebut sebagai bentuk pelawanan yang konsisten masyarakat adat Seko Tengah karena  Mokobo merupakan musyawarah adat tempat pengambilan keputusan tertinggi yang dihadiri masyarakat adat di 3 wilayah yaitu Ponoheang, Hoyane dan Ambalong, di Desa Tanamakaleang, Hoyane dan Embonatana.

Penolakan ini berdasarkan fakta bahwa pembangunan PLTA akan menghancurkan tanah adat mereka sebagai identitas masyarakat adat yang telah diwariskan secara turun temurun. Selain itu, warga juga terancam kehilangan sumber kehidupan sebagai petani. Jika ini terjadi, bencana lingkungan yang lebih besar lagi akan melanda pulau Sulawesi dengan krisis pangan. Wilayah Seko Tengah yang subur merupakan jantung pertanian yang dijadikan lumbung beras di pulau Sulawesi.

Tragedi perlawanan warga Seko Tengah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan sudah dimulai sejak tahun 2013, ketika PT. Seko Power Prima mulai beraktifitas di wilayah tersebut.  Sejak saat itu, warga mulai mengalami tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.

Warga laki-laki yang gencar melakukan protes, malah dikriminalisasikan dengan tuduhan melakukan pengancaman terhadap pihak perusahaan dan perusakan lahan milik perusahaan. Warga yang ketakutan memilih lari ke hutan. Akibatnya mereka ditetapkan masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) oleh pihak kepolisian. Sehingga yang tersisa di wilayah adat Seko Tengah kebanyakan perempuan dan anak-anak.

Perlawanan bukan hanya datang dari laki-laki, juga datang dari perempuan.  Mereka tetap melakukan perlawanan dengan terus menolak aktivitas perusahaan yang sedang melakukan survei di lapangan. Mereka pun mengalami intimidasi disertai tindak kekerasan dari aparat kepolisian yang mengawal proyek pembangunan PLTA. Tindak kekerasan aparat tersebut mengakibatkan luka-luka fisik dan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan  hingga kini.

Untuk mendapatkan perlindungan terhadap segala bentuk tindakan kriminalisasi dan intimidasi yang dihadapi, mereka telah menyampaikan kepada beberapa lembaga negara yang memperjuangkan hak azasi manusia, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

PLTA yang akan dibangun berkapasitas 480 mega watt, seperti yang tertuang di dalam dokumen Analisa Dampak Lingkungan PLTA PT. Seko Power Prima tahun 2014.  Dalam menopang pengoperasian PLTA akan dibangun bendungan terowongan sepanjang 16 km. Untuk itu, lahan yang dibutuhkan perusahaan untuk pembangkit ini sekitar 600 hektar. Padahal izin pembangunan PLTA telah melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Luwu Utara Nomor 02 Tahun 2011 dan  UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat adat Seko Tengah terhadap penolakan pembangunan PLTA, sehingga AMAN mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Luwu Utara untuk segera menghentikan proses pembangunan PLTA agar tindakan intimidasi dan kekerasan yang dialami masyarakat adat Seko dapat dihentikan dan ancaman bencana lingkungan yang besar dapat dihindari.

sumber: http://www.aman.or.id/wilayah-adat-seko-terancam-hancur-oleh-pembangunan-plta/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea