Pak Manre, Seorang Nelayan yang Memperjuangkan Isu Lingkungan Tidak Tepat Diproses Pidana

Perkumpulan Wallacea – Seorang nelayan bernama Pak Manre ditahan oleh Polisi Perairan (Polair) Polda Sulawesi Selatan dengan alasan malakukan tindak pidana perusakan mata uang yang melanggar pasal 35 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Kami menilai proses hukum dan penahanan terhadap pak Manre tidak tepat dan berlebihan, merujuk rumusan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang dan kasus yang berhubungan dengan lingkungan, maka harusnya polisi melakukan penyelidikan lebih dalam kasus ini. Beberapa catatan kami terkait kasus ini adalah;

Sumber foto: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar

Pertama, unsur kesengajaan dengan maksud adalah unsur yang utama. Pasal ini berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai symbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”, maka unsur kesengajaan dengan maksud “merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara” adalah hal mutlak yang harus dibuktikan dalam kasus ini.

Dalam berbagai pemberitaan, Pak Manre menyatakan dirinya tidak tahu bahwa dalam amplop yang diberikan oleh perusahaan penambang pasir laut yang dirinya kritik berisi uang, hal ini adalah keterangan yang sangat penting, sebab kesengajaan merusak mata uang adalah unsur yang sangat menentukan dalam kasus ini. Lebih lanjut, bahkan bila isi dalam amplop tersebut tetap diketahui berisi uang, maka pak Manre belum bisa dianggap melanggar ketentuan pasal 35 ayat (1) UU Mata Uang, sebab pasal ini mengkehendaki kesengajaan itu dengan tujuan “merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara”, sedangkan pak Manre menolak merobek amplop tersebut dengan tujuan sebagai simbol perlawanan terhadap penambangan pasir di daerah dirinya mencari nafkah sebagai nelayan, bukan untuk merendahkan mata uang rupiah.

Kedua, hukum Indonesia mengenal pengaturan anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dan Perlindungan kebebasan berekspresi. Perbuatan yang dilakukan pak Manre harus dibaca senapas dengan perjuangannya melawan keberadaan penambang pasir laut yang dianggapnya merusak lingkungan tempatnya mencari nafkah sebagai nelayan. Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup menyatakan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”, lebih lanjut Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/5K/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013) untuk memperkuat posisi Anti-SLAPP di Indonesia. Dalam kacamata ini, maka Pak Manre harusnya tidak boleh dituntut secara pidana.

Terlebih apa yang dilakukan pak Manre adalah bagian dari ekspresi politik atau  political statement, bagian dari kebebasan berekspresi yang sah, ditambah sekali lagi beliau juga dapat dikategorikan sebagai pejuang lingkuhan hidup berdasarkan isu dan ekspresi yang dilakukan.

Ketiga, penahanan yang dilakukan kepada Pak Manre berlebihan dan menunjukkan ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap kondisi masyarakat di masa pandemic. Penahanan yang dilakukan terhadap Pak Manre oleh Kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, dimana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas. Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Pak Manre ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik. Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Pak Manre, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya.

Berdasarkan poin-poin di atas, kami ICJR dan ELSAM menilai bahwa Pak Manre tidak layak untuk diproses hukum karena melakukan perbuatan merusak mata uang dan karena beliau harusnya dilindungi berdasarkan ketentuan Anti-SLAPP yang diatur di Indonesia dan perlindungan kebebasan berekspresi yaitu ekspresi politiknya, sehingga seharusnya proses pidana terhadap beliau dihentikan. Selain itu, kami menilai bahwa pihak Kepolisian tidak peka dan hati-hati dalam menggunakan upaya paksa penahanan di masa pandemic saat ini, hal ini harus menjadi atensi langsung dari Kepala Kepolisian RI dan Presiden Joko Widodo.

Jakarta, Senin 24 Agustus  2020

Hormat Kami,

ICJR dan ELSAM

Erasmus A. T. Napitupulu (Direktur Eksekutif ICJR)

Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi ELSAM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea