Petani Liku Dengen Produksi Pupuk Organik dan Kompos Sendiri

Saat warga membuat pupuk kompos sebelum memulai menanam pala dan jengkol tahun 2014 lalu
Saat warga membuat pupuk kompos sebelum memulai menanam pala dan jengkol tahun 2014 lalu

Pertanian Alami yang dilakukan petani Liku Dengen akan menjadi salah satu upaya membangun kemandirian petani dengan membebaskan petani dari ketergantungan pupuk kimia yang bukan hanya harganya semakin tinggi dan langka setiap dibutuhkan, akan tetapi juga merusak lingkungan. Secara tidak sadar pemakaian pupuk kimia maupun pestisida juga berdampak pada kehidupan petani sendiri.

Demikian disampaikan Akis Nuru, seorang tokoh masyarakat Liku Dengen saat menanggapi minat warga penerapkan pertanian organik di kampungnya.‘’Pertanian alami ini sebuah upaya yang sadar dari petani sendiri atas kepeduliannya terhadap lingkungan dan mahluk hidup lainnya termasuk manusia supaya saling menjaga, saling bertinteraksi, dan saling membutuhkan,” katanya.

Pada konsep pertanian sekarang ini, sambung Akis, telah memaksa petani dan tanah untuk memproduksi sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan lagi kondisi kesuburan tanah dan keselamatan petani sendiri dan masyarakat sebagai konsumen akan dampak dari pamakaian pupuk kimia dan pestisida. Sementara konsep pertanian alami ini harus dilakukan karena kesadaran sendiri, bukan dipaksakan.

Secara gotong royong warga Liku Dengan membuat pupuk kompos
Secara gotong royong warga Liku Dengan membuat pupuk kompos

Belajarnya dari Petani Desa 
Pengetahuan pertanian alami/pertanian organik petani ini bukan diperoleh dari guru besar dari sebuah universitas ternama melalui pendidikan formal, akan tetapi dari petani yang setiap hari bergelut dengan tanah, tanaman dan ternak. Tepatnya dari petani Desa Salassae di salah satu yang ada di Kabupaten Bulukumba. Meski sebelumnya, petani Liku Dengen mulai mengenal konsep pertanian organik sejak tahun 2014 pada sebuah pelatihan pertanian organik bagi petani kakao di Lamasi Kabupaten Luwu.

Waktu itu, warga mengutus perwakilan mengiktui TOT Pertanian Terpadu dan Ramah Lingkungan yang dilaksanakan Perkumpulan Wallacea dan Samdhana Institute di Lamasi Kabupaten Luwu pada bulan September 2014. Setelah pelatihan, warga langsung mempraktekan pembuatan pupuk organik dan kompos secara gotong royong. Merasa pengetahuannya masih kurang, warga melakukan kunjungan belajar ke kelompok petani di Desa Salassae Kabupaten Bulukumba. Kelompok Swabina Pedesaan (KSP) Salassae ini sudah lama menerapkan pertanian alami yang terpadu dengan pemeliharaan ternak sapi, pembuatan pupuk, dan pemakaiannya pada berbagai tanaman, termasuk padi, pengemasan hasil (produk) sampai pemasaran. Disanalah mereka melihat langsung penerapan pertanian alami secara terpadu di Desa Salassae.

Meski belum keseluruhan memakai pertanian organik, namun bagi petani yang menerapkan, mereka sudah merasakan manfaat pupuk organik cair dan kompos terutama pada tanaman merica karena sudah berbuah. Sementara tanaman lain, masih dalam perkembangan, karena tanaman tahunan seperti jengkol dan pala. Ada juga mulai mencoba di sawah.

Pertemuan warga menjadi media bertukar informasi pertanian alami
Pertemuan warga menjadi media bertukar informasi pertanian alami

Motivasi dan Contoh dari Penggerak
Masmur yang juga Penggerak pertanian alami Liku Dengen menceritakan pengalamannya mengajak warga memulai pertanian alami atau pertanian organik.

Menurutnya, untuk memulai konsep pertanian alami harus berawal dari memperbaiki orientasi bertani setiap petani. ‘’Bertani bukan semata-mata mengejar produksi melimpah dan keuntungan semata, akan tetapi orientasi bertani memegang prinsip kehidupan, dimana semua mahluk butuh hidup dan mereka saling membantu untuk memelihara kelangsungan hidup secara luas. Aktivitas bertani tidak bisa lepas dari tanah sehingga menjaga kesuburan tanah perlu diperhatikan karena tanah ini juga menjadi tempat hidup tanaman,’’ jelasnya.

Awalnya, sambung Masmur, pasca mengikuti pelatihan pertanian alami, dirinya bersama Hery dan alumni pelatihan lainnya, merasa bertanggungjawab untuk membagi pengetahuannya kepada warga sekaligus mengajaknya untuk membuat pupuk organik.

Para alumni ini, mensosialisasikan kepada warga tentang pertanian alami, lalu mereka bersepakat untuk membuat pupuk organik cair dan kompos. Dan konsep konsep pertanian yang ramah lingkungan ini lebih diminati kalangan perempuan.

Demikian pula Hery, pemuda Liku Dengen yang juga Penggerak Pertanian Alami di Kampungnya menegaskan, pupuk organik yang dipakai warga bukan pupuk organik kemasan yang diproduksi pihak luar seperti yang banyak dijual di pasar-pasar, akan tetapi pupuk organik yang dibuat sendiri oleh warga secara gotong royong dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada.

Menurut Hery, sekarang bukan hanya pupuk organik cair dengan unsur NPK dan kompos saja yang sudah bisa dibuat warga, akan tetapi juga sudah ada pestisida dan herbisida herbal yang berasal dari bahan-bahan alami. Misalnya, untuk herbal mengobati serangan jamur pada kakao, dan berbagai pestisida herbal untuk mengusir hama pengganggu tanaman.

‘’Kami sudah membuat pupuk kompos satu kali, yaitu pada bulan November 2014 hasilnya 6 gabah. Ditambah lagi, pupuk organik cair pada waktu konsolidasi petani Se Sulsel pada bulan Maret 2015 lalu. Pupuk itulah yang kami pakai. Dan kami tidak memakai pupuk organik yang banyak dijual dan beredar di pasar-pasar karena kami berprinsip kalau petani masih harus membeli pupuk organik berarti masih rentan untuk dipermainkan oleh produsen. Tetapi bagaimana membangun kemandirian petani supaya bisa memproduksi sendiri pupuk organik dan memakainya,’’ tegas Hery Niko.

Hery mengutip pernyataan Armin Salassa, pertanian alami adalah bentuk pertarungan dengan perusahaan pupuk kimia. Bisa dihitung berapa banyak uang petani yang harus diserap ke pengusaha pupuk jika 1 sampau 2 hektar sawah saja membutuhkan pupuk sampai 2 truk. Tapi kalau memakai pupuk organik, untuk 1 atau 2 hektar sawah hanya butuh 1 botol saja. Harganya tidak sampai seratus ribu rupiah.

Ne’ Arya, salah seorang warga yang sudah menggunakan pupuk organik cair dan pupuk kompos pada tanaman mericanya. Saat umur mericanya mencapai 11 bulan, sudah memperlihatkan buah dan tinggi mencapai 1 meter. Tanamannya-pun subur. Selain itu, dia tidak mengeluarkan uang sampai ratusan ribu rupiah untuk membeli pupuk kimia.

Para penggerak pertanian alami ini berharap, dapat mengajak lebih banyak lagi petani untuk bertani yang benar dengan menerapkan pertanian alami atau pertanian organik sebagai bagian dari kerja membangun kemandirian petani, mengembalikan dan memelihara lingkungan yang jauh pemakaian  zat-zat kimia. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea