Pidato Politik Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Memperingati May Day 2020: Satukan Kekuatan Rakyat Melawan RUU Cipta Kerja, Jalankan Reforma Agraria dan Bangun Ekonomi Kerakyatan
Satu Mei seluruh dunia merayakan Hari Buruh. Hari ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan May Day kali ini selain kita masih hidup di tengah ancaman kapitalisme yang mencengkeram sendi-sendi ekonomi dan politik, kita juga tengah berada dalam situasi krisis berlapis akibat wabah pandemi Virus Corona, sekaligus ancaman RUU Cipta Kerja.
Dalam peringatan May Day 2020, kita menyaksikan satu sejarah krisis tatanan kapitalisme yang sangat besar. Bukan karena virus, tapi disebabkan oleh kapitalisme.
Saudara sekalian, merebaknya virus ini adalah akibat eksploitasi sistem kapitalisme terhadap tanah dan seluruh kekayaan alam sehingga kemiskinan struktural, pupusnya kearifan lokal, dan kerusakan lingkungan semakin mendalam. Tidak dapat ditanganinya virus ini sebab telah lama usaha-usaha kesehatan dan pendidikan kesehatan adalah industri kapitalisme.
Namun kita juga bisa dengan terang dapat melihat hal-hal lain akibat wabah virus yang tengah berlangsung secara global dan nasional pada saat ini, yaitu:
Pertama, pandemi virus ini telah memperlihatkan bahwa organisasi antar negara bahkan organisasi regional maupun global, seperti ASEAN, UNI EROPA, OKI, yang pernah dibangun dengan melangit itu ternyata pepesan kosong saja. Tidak ada solidaritas konkrit di dalamnya. Sehingga selama pandemi tidak ada langkah yang benar-benar global dan setara untuk mengatasi dampak virus ini. Semua pada akhirnya kembali ke negara masing-masing dengan kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda.
Kedua, pandemi virus ini memukul sangat keras pada negara-negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi. Seperti halnya di Indonesia, yang berdampak pada sulitnya upaya pencegahan hingga pemusnahan virus ini. Ini disebabkan oleh tata cara social distancing hingga PSBB berakibat besar dan berbeda pada lapisan masyarakat miskin. Ada krisis berlapis, darurat kesehatan, kelaparan dan kemiskinan baru terjadi. Sementara jaring pengaman sosial seperti bantuan uang dan pangan tidak siap dalam mengantisipasi maupun menangani secara sistemik dampak multidimensi yang dialami kelompok rentan ini.
Ketiga, tidak ada solidaritas dari pengusaha-pengusaha kaya yang selama puluhan tahun telah diistimewakan dan dimanjakan pemerintah dengan segenap regulasi dan dana. Justru solidaritas antar rakyat lah yang terbangun. Kita mencermati, tidak ada mitigasi Negara yang kuat dalam mencegah PHK massal oleh kelompok perusahaan, termasuk mengatasi dampak lanjutan dari PHK tersebut. Perusahaan pun banyak memaksakan meneruskan pabriknya berproduksi untuk memenuhi kontrak bisnisnya. Parahnya, lagi-lagi pengusaha besar yang mendapatkan keuntungan dari situasi wabah ini dengan menunggangi impor obat-obatan, alat medis hingga kelak vaksinnya. Negara belum betul-betul hadir mengatur ketat perusahaan di masa pandemi demi menyelamatkan rakyat.
Keempat, justru ekonomi gotong-royong antara petani dan buruh telah terbangun. Dalam 50 hari terakhir di masa pandemi ini, batu-bata ekonomi gerakan _petani bantu buruh dan buruh bantu petani_ untuk menghubungkan produksi, distribusi dan konsumsi pangan antara keluarga petani dan keluarga buruh terbangun melalui Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria (GeSLA). Petani dan buruh telah menunjukkan kesanggupannya untuk memutus rantai panjang distribusi dan konsumsi _ala_ kapitalisme di sektor pertanian dan industri pangan. Inilah modal sosial dan ekonomi kerakyatan yang kita cita-citakan, dimana desa dan kota saling memperkuat.
Kelima, ternyata desa dan kampung-kampung lah yang masih bertahan sebagai pusat produksi pangan dan lumbung pangan untuk menyelmatkan dirinya dan keluarganya, bahkan menyelamatkan bangsa. Lumbung komunitas, desa dan serikat-serikat tani tidak hanya memiliki kesanggupan untuk memenuhi pangannya secara berdaulat, bahkan ikut mengalirkan sebagian lumbung pangan dan panennya ke kota-kota. Petani bergabung mengatasi krisis yang tengah dihadapi kawan-kawan buruh dan warga rentan di perkotaan.
Keenam, namun desa-desa yang telah dirampas tanahnya menjadi perkebunan-perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) menjadi tempat yang rawan pangan dan makin miskin. Desa, pulau kecil, tanah adat, tanah pertanian yang terlanjur disawitkan, ditambang, atau disulap jadi pariwisata premium demi imaji “Bali Baru” mengalami kelesuan ekonomi, krisis budaya, dan krisis pangan akibat orientasi ekonomi global semata. Sementara dunia global tak berarti apa-apa ketika virus super mikro ini menuntut banyak negara melakukan _lockdown_ dan prioritas keselamatan domenstiknya.
Ketujuh, kekerasan konflik agraria, penangkapan petani, surat keputusan dan edaran dari pemda maupun perusahaan BUMN yang mengancam selama masa pandemi, dan diperparah pula oleh pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus dipaksakan sebenarnya menunjukkan bahwa investor, pemerintah dan elit politik tak berhenti untuk menahan diri di masa pandemi ini.
Ada paradoks kebijakan meminta gotong-royong petani tetap bekerja selamatkan pangan, sementara diskriminasi hak, kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani terus dijalankan di kampung-kampung. Ada pula ilusi besar kepada publik tentang kemuliaan misi menciptakan lapangan kerja lewat Omnibus Law ini. Sebab, RUU ini nyata amunisi baru kapitalime untuk mendorong terus terjadinya ploletarisasi petani dan keluarganya menjadi tak bertanah, dipaksa menjadi buruh tani, buruh kebun, TKI dan TKW. Dalam RUU ini tanah menjadi barang komersil dan manusia hanya diproyeksikan sebagai sumber melimpah para koeli, tenaga kerja upah murah demi ciptakan lapangan kerja baru semu oleh kapitalisme.
Oleh karena itu kawan kawan semua, Reforma Agraria adalah desakan dan tuntutan kita bersama untuk mengalahkan kapitalisme.
Selama ini reforma agraria telah menjadi tuntutan kaum buruh. Kita bangga dan berterimakasih dengan hal ini kepada para buruh dan pemimpin gerakan buruh.
Apakah hubungan antara Reforma Agraria dengan tuntutan kaum buruh?Tidak dijalankannya reforma agraria adalah salah satu akar penyebab rendahnya daya tawar kaum buruh dalam hal kebebasan berserikat dan upah layak. Sebab tenaga kerja produktif pedesaan terlempar (terekslusi) dari desa karena tanah dan kampung mereka dirampas, karena tanah pertanian semakin menyusut bahkan musnah. Menjadi petani dan peternak tidak ada masa depan, karena reforma agraria tidak kunjung dijalankan.
Keluarga petani, para pemuda-pemudi di desa yang merupakan tenaga kerja produktif akhirnya bermigrasi ke kota-kota hingga ke luar negeri untuk bertahan dan mencari peruntungan hidup yang lebih baik. Menumpuknya suplai calon pekerja, dan rendahnya lowongan kerja telah menyebabkan para pemodal memiliki daya tawar yang tinggi, otomatis daya tawar calon pekerja dan para pekerja melemah. “Saya hanya menggaji anda segini dengan sistem kerja kontrak, jangan ikut organisasi buruh. Ingat, tak ada paksaan anda bekerja, jika tidak suka silahkan angkat kaki. Masih banyak orang mau pekerjaan ini”. Ini gambaran lumrah dari relasi desa dan kota yang saling menghisap dan meniadakan.
Petani sebagai produsen pangan juga telah didesain sebagai pensubsidi pangan murah. Syarat bagi upah murah agar dapat dijalankan adalah menjalankan politik pangan murah. Syarat bagi banyaknya suplai tenaga kerja dari desa adalah dengan menciptakan pertanian rakyat sebagai pondasi yang rapuh dan tidak lagi menjanjikan masa depan cerah. Seperti harga panen petani yang dibeli murah, pembiaran atas monopoli pasar oleh swasta, sistem tengkulak dan mafia pangan, kawin-mawin dengan pejabat yang korup.
Dengan begitu, cadangan tentara tenaga kerja terus-menerus melimpah dari desa. Bahkan, ketika harga pangan lokal sedikit meningkat, keran impor pangan pun dibuka lebar atas nama ketahanan pangan nasional. Kedaulatan pangan nasional baru sebatas bermimpi.
Demikianlah lingkaran ini berputar terus. Kapitalisme di negara semacam Indonesia berjaya di atas upah buruh murah, di atas perampasan tanah rakyat, di atas pemiskinan buruh dan petani.
Oleh sebab itu, memperingati May Day 2020 visi kita ke depan adalah:
1. Globalisasi perdagangan harus dirombak menjadi globalisasi keadilan;
2. Pemerintahan nasional dan daerah yang berorientasi semata melayani orang kaya, yang hanya mengerti konsep pembangunan yang berpusar pada pelayanan investor, bahkan hendak diperbuas melalui RUU Cipta Kerja harus dirombak dan dilawan secara bersama-sama;
3. Menaikkan upah buruh, menolak PHK, dan mendorong sistem ekonomi berkeadilan dengan menyerahkan dan/atau membagi saham-saham kepemilikan industri kepada serikat-serikat buruh;
4. Menghentikan perampasan tanah rakyat oleh Negara dan pemodal; mengembalikan fungsi sosial atas tanah; memulihkan dan mengutamakan desa, kampung-kampung adat dan pesisir; serta memperkuat pusat-pusat produksi pertanian, peternakan, perikanan dan industri pengolahan rakyat dengan cara segera melaksanakan reforma agraria secara penuh dan konsekuen sesuai mandat UUD 1945 dan UUPA 1960;
5. Menjaga persatuan nasional buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan bersama rakyat lainnya adalah mutlak sebagai prasyarat bagi menguatnya perjuangan politik rakyat dan tatanan ekonomi kerakyatan yang berlandasan gotong-royong, keadilan dan keberlanjutan kehidupan.
Salam pembaruan agraria, selamat Hari Buruh kawan-kawan semua!
Jakarta, 01 Mei 2020
Dewi Kartika
Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World