PTPN III Kembali Gusur Tanah Warga: Hentikan Kekerasan, Tarik Alat Berat, Jalankan Reforma Agraria!
Mengawali tahun 2023, PTPN III kembali menyebakan kekerasan konflik agraria di Sumatera Utara. Pada Hari Sabtu, 21 Januari 2023, pada pukul 11.26 WIB, tiga rumah warga milik Agustina Tampubolon, Lisbet Sihombing dan Lasma Dame Simanungkalit yang terletak di Kampung Baru, Gurilla, Kota Pematangsiantar dihancurkan dan dirusak oleh sekitar 100-an security PTPN III Unit Kebun Bangun dengan mengunakan eskavator dan alat perusak lainnya.
Minggu sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menerima laporan dari petani Forum Petani Sejahtera Indonesoia (Futasi) bahwa telah terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh security kepada warga. Korban pemukulan tersebut atas nama Fernades Saragih. Rangkaian tindakan kekerasan PTPN ini telah mengakibatkan masyarakat mengalami trauma, khususnya anak-anak.
Ternyata tahun baru tidak menghasilkan cara baru pemerintah, utamanya Kementerian BUMN/Direksi PTPN III dalam merespon dan menyelesaikan konflik agraria kronis dengan masyarakat. Citra perubahan yang selama ini digaungkan BUMN tidak menyentuh masalah agraria kronis di lapangan.
Ledakan konflik agraria di Kampung Baru hanyalah satu dari sekian banyaknya konflik agraria yang meletus akibat klaim penguasaan asset tanah BUMN, yang tumpang tindih dengan tanah garapan dan perkampungan rakyat.
Klaim atas tanah oleh perusahaan plat merah tersebut, utamanya PTPN tidak hanya menyebabkan letusan konflik di berbagai pelosok, tetapi menyebabkan juga kekerasan terhadap rakyat.
Pada tahun 2022, KPA mencatat telah terjadi 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor, dimana 21 kasusnya adalah konflik agraria masyarakat berhadap-hadapan dengan PTPN, seluas 50.236 hektar dengan korban terdampak 34.362 keluarga.
Bahkan sepanjang tiga tahun terakhir, letusan konflik agraria pada wilayah PTPN terus memperlihatkan trend kenaikan.
Konflik agraria tersebut melibatkan 8 (delapan) dari 14 PTPN yang ada, salah satunya PTPN III. Angka ini sangat memprihatinkan mengingat hanya terdapat 14 perusahaan PTPN di negeri kita namun menjadi menyumbang konflik agraria yang cukup besar, luas dan akut. Lebih memprihatinkan lagi, penyelesaian konflik agraria akibat klaim-klaim PTPN minus terobosan penyelesaian.
Konflik agraria yang terjadi pada 2022 saja memperlihatkan sejumlah tindakan kekerasan dari operasi perusahaan perkebunan negara dalam menangani konflik sehingga menimbulkan korban.
Dari 21 letusan konflik agraria akibat operasi PTPN pada tahun 2022, sebanyak 15 orang menjadi korban penganiayaan (7 laki-laki dan 8 perempuan) dan 28 orang mengalami kriminalisasi (24 laki-laki dan 4 perempuan), bahkan satu orang tewas akibat konflik agraria dengan PTPN.
Besarnya angka konflik agraria, kriminalisasi, penganiayaan hingga korban tewas tersebut terus terjadi karena pihak perkebunan PTPN sendiri seolah kebal hukum atas sejumlah peristiwa tersebut.
Dalih utama yang sering dipakai oleh pihak perkebunan dalam melakukan tindakan represif tersebut adalah penyelamatan asset negara.
Selain itu, sejumlah diskriminasi hukum pertanahan dan hukum perkebunan kepada perusahaan perkebunan plat merah ini telah membuat PTPN/BUMN tidak tersentuh hukum. Misalnya, peraturan terkait penelantaran tanah oleh perusahaan dikecualikan kepada perusahaan perkebunan negara.
Meski ada ketentuan bahwa setiap perusahaan perkebunan wajib memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan, namun dengan dalih menyelamatkan asset negara masih saja dibiarkan melakukan klaim tanah dan kekerasan.
Diskriminasi dan “kekebalan hukum” semacam di atas telah melahirkan perilaku buruk yang berulang-ulang dari pemerintah, perusahaan, aparat dan watak premanisme di sektor BUMN, diantaranya:
Melembagakan Penanganan Represif, Perempuan-Anak Jadi Korban
Pendekatan represif sepertinya telah menjadi ciri khas PTPN dalam menghadapi warga dan menangani konflik agraria. Bahkan pada tahun 2022, pilihan pendekatan semacam itu semakin diperkuat oleh pihak PTPN yang secara khusus melakukan nota kesepahaman dengan Polda di masing-masing provinsi.
Kesepakatan ini bertujuan untuk menangani letupan-letupan konflik agraria dengan dalih pengawasan dan penegakan hukum. Salah satunya seperti kerjasama antara PTPN VIII dengan Polda Jawa Barat.
Bisa dibayangkan dampak dari kesepakatan bilateral semacam itu. Alih-alih bekerjasama dengan masyarakat untuk mengurai masalah dan menuntaskan konflik agraria, justru PTPN mengikat kerjasama dengan institusi pemerintahan yang tercatat dalam sejarah konflik agraria merupakan institusi paling buruk dalam hal penanganan konflik agraria.
Penting dicatat, sepanjang konflik agraria tahun 2022, banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban. Penanganan dengan cara-cara kekerasan dan intimidatif di Kel. Gurilla eskalasinya konflik terus meningkat sejak 18 Oktober 2022, menyebabkan jatuhnya banyak korban kekerasan pada perempuan dan anak. Kurang lebih terdapat 8 perempuan dan 3 rohaniawan mendapat kekerasan dari aparat keamanan perusahaan. Kemudian, kekerasan pada 13 Des 2022, Juni Tambunan seorang perempuan yang diinjak perutnya oleh satpam perusahaan. Kasus ini sudah dilaporkan ke Polres Siantar, sayangnya sampai sekarang tidak ada tindaklanjutnya.
Anak-anak di Kel. Gurilla juga mengalami trauma yang sangat berat. Rentetan konflik sempat membuat mereka selama sebulan lebih tidak lagi mau bersekolah dan beraktivitas keluar rumah, sebab merasa takut dan terancam melihat kebrutalan para aparat (Polisi, TNI, satpam perusahaan). Belum juga hilang trauma yang dirasakan, aparat terus menggempur rumah dan lahan mereka.
Potret di atas menunjukkan konstitusionalitas rakyat atas tanah yang dijamin UUD 1945 dan UUPA seperti tak berlaku bagi BUMN/PTPN. Petani dan masyarakat adat tak ubahnya seperti masih hidup di alam penjajahan saat UU Agraria Kolonial diberlakukan.
Pengabaian Respon Masyarakat dan K/L oleh PTPN/BUMN
PTPN terkesan dengan sengaja melakukan pengabaian atas sejumlah pengaduan dan permintaan respon, reaksi dan kecaman atas peristiwa kekerasan yang terjadi, baik yang dilayangkan oleh korban, gerakan masyarakat sipil maupun lembaga negara.
Sehingga, tindakan represif perusahaan sebagaimana yang berlangsung di Kota Pematang Siantar tersebut terus berlangsung tanpa surut.
Konflik dan kekerasan agraria yang tengah terjadi memperlihatkan bagaimana petani dan warga setempat hidup dalam ketakutan sejak pertengahan Oktober 2022 dan berlangsung hingga saat ini (per Januari 2023).
Penyebabnya, rencana PTPN III yang ingin mengaktifkan kembali HGU yang telah mereka terlantarkan sejak 2004. Padahal, klaim PTPN atas areal ini sudah tidak memiliki dasar yang kuat dan merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab, PTPN III berdasarkan Surat BPN RI No.3000-310.3-D tertanggal 19 September 2007 menyatakan HGU PTPN III tidak lagi diperpanjang.
Respon dan desakan penyelesaian dari Kementerian ATR/BPN-RI, Kantor Staf Presiden (KSP), Komnas HAM, KPA hingga lembaga keagamaan terus-menerus diabaikankan oleh Direksi PTPN dan BUMN.
Sebelumnya, pada 22 November 2022, KPA telah melayangkan surat permohonan kepada Menteria ATR/Kepala BPN RI perihal perlindungan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) di Kelurahan Gurilla tersebut terkait dua hal, yaitu: Meminta kepada Kapolda dan Pangdam I/Bukit Barisan terkait penetapan status quo di wilayah konflik agraria; Menyelesaiakan konflik agraria struktural terkait PTPN III. Mengingat pada waktu itu PTPN III memobilisasi ratusan aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP dan pihak security perusahaan.
Kementerian ATR/BPN telah meminta respon dan langkah solutif dari pihak BUMN. Namun sampai dengan kejadian hari ini belum ada perkembangan penyelesaian yang diharapkan. Termasuk penetapan status quo, bahkan setelah permintaan tersebut patroli dan intiminasi aparat serta perusahaan tetap berjalan,
Macetnya Langkah Penanganan dan Penyelesaian
Ketiadaan roadmap penyelesaian masalah konflik agraria pada PTPN dan diskriminasi hukum yang menguntungkan perusahaan telah menyebabkan konflik agraria terakumulasi tanpa solusi. Meski PTPN menelantarkan tanah, bahkan tidak memiliki dasar hukum agraria kuat sebab HGU-nya sudah expired, tidak pula memberikan banyak keuntungan kepada negara, akan tetapi yang terjadi adalah kemacetan penyelesaian konflik agraria, yang seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah.
Jika saja ada political will yang kuat dan konkrit.
Sebagai contoh, konflik agraria PTPN dengan petani dan warga di wilayah Simalingkar-Sei Mencirim yang telah bertemu Presiden dua kali dan dijanjikan penyelesaian, tetap berujung pada kebuntuan.
Posisi seperti untouchable dari Menteri BUMN ini menimbulkan tanda tanya besar, jika selevel Presiden saja tetap tak mampu instruksikan menterinya, atau membuat keputusan politik yang menghasilkan terobosan hukum dan bersifat mengikat para pihak, lantas kepada siapa petani harus menggantungkan harapannya?
Ketiadaan Roadmap Penyelesaian Konflik Agraria BUMN
Menteri BUMN boleh saja mengklaim telah melakukan perubahan terhadap perusahaan-perusahaan yang dimiliki Negara. Namun di lapangan, masyarakat korban konflik agraria struktural selama ini melihat PTPN tak ubahnya seperti perusahaan-perusahaan VOC di masa penjajahan.
Perusahaan negara yang datang menghidupkan dan memaksakan azas domein verklaring (klaim negara secara sepihak dan membabi-buta) tanpa melihat historitas penguasaan dan pemilikan tanah, mengorbankan kehidupan rakyat banyak, masuk kampung-kampung dilengkapi pasukan bersenjata dan alat berat, menyebar teror hingga bertindak represif.
Meski sudah banyak kritik dan usulan penyelesaian konflik agrarian yang dialamatkan kepada pihak Kementerian BUMN dan PTPN, nampaknya Kementerian BUMN tidak memiliki roadmap penyelesaian konflik agraria sebagai bagian dari usaha mewujudkan korporasi usaha yang baik.
Sebagai lembaga yang memberikan kerangka regulasi dan “pengendali usaha” operasi usaha BUMN perkebunan, pemahaman dan kepedulian kementerian ini terhadap konflik agrarian sangat minim.
Akibatnya, banyak pula usulan dan desakan penyelesaian konflik mengalami jalan buntu. Berdasarkan Data KPA, konflik agraria yang melibatkan PTPN dan Perhutani setidaknya terjadi di 237 desa dengan luasan mencapai 330.024 hektar. Data ini baru mengacu pada Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Anggota KPA saja.
Meskipun lokasi-lokasi tersebut telah berulangkali diterima langsung pengaduannya oleh Presiden sebagai bagian dari tuntutan evaluasi terhadap kegagalan RA terhadap klaim-klaim PTPN dan Perhutani, namun lagi-lagi penyelesaiannya tidak berhasil.
Pihak BUMN (PTPN dan Perhutani) terus-menerus berlindung di balik dalih menyelamatkan asset negara.
Pentingnya Kepemimpinan Politik untuk Menghasilkan Terobosan Hukum
Mandegnya penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah untuk kepentingan reforma agraria terkait masalah PTPN sebenarnya bukan lah terletak pada kekurangan regulasi. Ada UUPA 1960, PP No.40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, hingga termutakhir ada Perpres No. 86 tentang Reforma Agraria yang juga menuntut pelaksanaan reforma agraria terhadap HGU-HGU bermasalah dan/atau kadaluarsa. Apalagi HGU yang sudah mencaplok perkampungan dan pertanian produktif sejak puluhan tahun.
Diperlukan kepemimpinan politik presiden untuk menghadirkan terobosan hukum terkait klaim-klaim asset negara terhadap desa-desa, pertanian/kebun produktif masyarakat dan pemukiman.
Sebetulnya hal ini bukanlah sesuatu yang sulit jika Presiden mengarahkan seluruh jajaran kabinetnya (Kementerian BUMN, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Keuangan, Gubernur) untuk duduk bersama dan melakukan kesepakatan yang bersifat mengikat para pihak untuk segera menuntaskan konflik-konflik agraria PTPN.
Bahkan KPK, Ombudsman, MA, Kejaksaan, Komisi Yudisial, Polri dan para pihak yang relevan dan urgent dapat dengan mudah dilibatkan oleh seorang Presiden untuk menjawab alasan-alasan dan hambatan hukum klasik-normatif selama ini terkait asset negara. Kekhawatiran tuduhan penggelapan asset juga selalu dibenturkan ketika menjawab aspirasi rakyat.
Ratas Presiden seharusnya mampu menghasilkan terobosan hukum yang progresif, mengikat dan konkrit jika political will memang kuat.
Atas kejadian konflik agraria dan kekerasan beruntun sejak Oktober 2023 s/d Januari 2023 yang terjadi di Kampung Baru, Pematangsiantar, dengan ini KPA mengecam keras tindakan brutal berulang kepada masyarakat yang dipertontonkan oleh PTPN III, sekaligus pengabaian penyelesaian oleh BUMN.
Selanjutnya KPA mendesak para pihak untuk:
- Presiden RI segera melakukan Ratas memanggil Menteri BUMN, menegur pengabaian penyelesaian yang berulang dan memerintahkan penyelesaian konflik secara serius dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria;
- Tarik alat berat dan mobilisasi aparat keamanan (swasta atau negara) dari perkampungan dan tanah masyarakat Kampung Baru, Kelurahan Gurila, Kota Pematangsiantar;
- Hentikan cara-cara represif, intimidatif dan diskriminatif hak dalam penanganan konflik agraria PTPN di lapangan;
- Komnas HAM RI dan Komnas Perempuan agar memberikan peringatan keras kepada Direksi PTPN III/BUMN atas pelanggaran HAM dan kekerasan yang dialami perempuan-anak-anak yang terjadi di lapangan sejak 2022 sampai 2023;
- Gubernur dan Walikota wajib melindungi dan memprioritaskan hak atas tanah bagi petani dan warga Kampung Baru sesuai tugas dan kewenangannya selaku penanggungjawab Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA);
- Kementerian ATR/BPN RI segera mengumumkan kepada publik dan para pihak mengenai kejelasan status hak atas tanah (HGU) PTPN III, yang kami nilai tidak memiliki dasar hukum sesuai Surat BPN RI No.3000-310.3-D per 19 September 2007 yang menyatakan HGU PTPN tersebut tidak lagi diperpanjang – untuk selanjutnya menetapkan tanah tersebut sebagai Obyek Reforma Agraria untuk diredistribusikan kepada masyarakat yang berhak;
- Terakhir, menyikapi seluruh konflik agraria terkait BUMN (PTPN/Perhutani), Presiden RI penting mengarahkan kepemimpinannya, memanggil seluruh jajaran kabinet terkait untuk duduk bersama. Selanjutnya mengeluarkan kebijakan yang mengikat para menteri untuk menyiapkan Roadmap Penyelesaian Konflik Agraria (klaim tanah/hutan negara) dan membuat terobosan hukum yang berorientasi pada pengeluaran desa-desa, tanah produktif masyarakat, wilayah adat dari klaim-klaim asset negara.
Demikian Pernyataan Sikap KPA agar menjadi perhatian semua pihak.
Jakarta, 21 Januari 2023
Hormat Kami,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Dewi Kartika
Sekretaris Jenderal
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World