Rikardo Simarmata,Ph.D., Jadi Pembicara di Seminar Hukum Universitas Cokroaminoto Palopo
Setelah menjadi dosen tamu dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Unanda Palopo, Senin (8/4) kemarin, hari ini, Selasa (9/4), Rikardo Simarmata,Ph.D yang juga Pengajar tamu pada mata kuliah Law and Culture dan Law and Governance in Indonesia pada Fakultas Hukum Universitas Leiden Belanda dan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Jakarta tampil bersama Mantan Rektor Universitas Cokroaminoto Palopo, DR A. Rahim, SH., MH. sebagai pembicara pada Seminar Hukum ”Pluralisme Hukum Menuju Masyarakat Berkeadilan” yang dilaksanakan BEM Universitas Cokroaminoto Palopo.
Dihadapan peserta, Rikardo Simarmata,Ph.D., menegaskan bahwa konsep pluralisme hukum muncul sebagai kritik atas dua konsep sebelumnya yaitu evolusionisme dan sentralisme hukum. Kritik atas pendekatan evolusionisme membawa konsep pluralisme hukum pada kesimpulan bahwa aturan-aturan tradisional merupakan kategori hukum. Berangkat dari kesimpulan ini, eksponen konsep pluralisme hukum menegaskan bahwa pluralisme hukum adalah fakta.
Sebaliknya sentralisme hukum adalah ilusi. Fakta yang dimaksud adalah adanya lebih dari sistem hukum yang eksis pada saat dan waktu yang sama. Berbagai sistem hukum ini melakukan interaksi yang dapat berujung pada saling meniadakan maupun akomodatif atau saling melakukan penyesuaian. Alasan utama melakukan akomodasi adalah agar masing-masing sistem berlaku efektif.
Sebagai sebuah negara, lanjut Rikardo, terjadi kecenderungan memantapkan eksistensi otoritas hukum yang terpusat dan pada saat yang sama melemahkan otoritas-otoritas hukum lokal, berbagai rejim pemerintahan di Indonesia membuat berbagai peraturan perundangan yang mengembangkan faham unifikasi hukum dengan maksud menyediakan kepastian hukum.
Semangat tersebut dapat ditemukan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU No. 5/1967 tentang Kehutanan. UUPA memang ingin mengakhiri dualisme hukum dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum nasional. Sesuai UUPA, pengakhiran atas dualisme tersebut ditujukan untuk menyederhanakan hukum pertanahan nasional sehingga dapat menyediakan kepastian hukum. Namun, secara esensial UUPA sesungguhnya bersikap mendua atau bahkan mengingkari hukum adat.
”Bisa dikatakan demikian karena hukum adat yang dimaksud oleh UUPA adalah hukum adat yang sudah disaring atau dibersihkan dari unsur-unsur asing,” kata pendiri Perkumpulan HuMa Jakarta ini.
Sementara DR A Rahim menegaskan sebaiknya penegakan hukum di Indonesia ini tidak memakai hukum formal dan menapikan norma sosial yang berkembang di masyarakat. norma sosial yang ada di masyarakat ini menjadi sebuah sistem hukum yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum.
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World