Sejumlah Penguatan Diperlukan Menuju Pembaharuan Hukum Lingkungan
Mengulas balik mengenai Hukum Lingkungan dari Masa ke Masa di Indonesia termasuk perkembangan gerakan hukum lingkungan, untuk kembali merefleksikan bagaimana instrumen hukum lingkungan sebenarnya memiliki peran penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, hal diangkat Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dalam ”Webinar Hukum Lingkungan dari Masa Ke Masa” (22/07/2021) yang merupakan acara puncak dari rangkaian peringatan 28 tahun berdirinya ICEL ini berusaha untuk melihat kembali perkembangan hukum lingkungan Indonesia dari masa ke masa, Narasumber yang hadir saat itu Prof. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993; Mas Achmad Santosa, Pendiri ICEL sekaligus CEO Indonesia Ocean Justice Initiative, Sandrayati Moniaga, Pendiri ICEL sekaligus Komisioner Komnas HAM, dan Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.
Mengawali webiner tersebut Prof. Emil Salim tampil sebagai pembicara pertama. Delegasi Indonesia pada konfrensensi Stocholm 1972 itu mereflkai kurangnya political support pemerintahaan saat ini dibandngan yang lalu. Beliau menyoroti keras izin pemberian izin pertambangan emas di Pulau Sanghie yang mengambil separuh dari pulau yang kecil itu padahal pulau tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. ‘’Masya Allah, pulau kecil dibongkar separuh menjadi pertambangan emas dengan memakai teknologi racun. Babak belur pulau itu,’’ungkapnya mencermati hukum lingkungan saat ini. .
Lebih lanjut, Prof Emil Salim menekankan pentingnya upaya masyarakat sipil untuk menyelamatkan lingkungan dan membangkitkan kembali semangat pembangunan berkelanjutan.
“Lingkungan tidak hanya untuk dibicarakan, dipidatokan, tapi dihidupi sebagai bagian dari membangun tanah air yang sejahtera, makmur, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Beliau merefleksikan keprihatinannya terhadap keadaan di Indonesia tahun 1970-an yang tidak hanya mengalami masalah kemiskinan tapi juga permasalahan lingkungan. Dari sinilah muncul gagasan bahwa semestinya pembangunan tidak hanya bertumpu pada ekonomi saja, melainkan juga isu sosial dan lingkungan.
‘’Jadi pelajaran penting dlam perjlanan ini, adalah mengkaitkan bebergai ilmu yang diperloeh dari Eropa dan Amerika yang umumnya berada di negara maju tetapi bagaimana mengaitkannya dengan masyarakat kita. Karena itu apa yang kita pelajari harus diolah sesuai kemampuan yang ada di masyarakat kita sendiri,’’ urai Prof Emil Salim. Menurutnya, pembangunan tidak hanya ekonomi saja tapi juga harus memberantas kemiskinan. Percuma jika pendapatan tinggi tapi koefisien gini-nya tinggi, yang berarti masih banyak kesenjangan terjadi. Pembangunan seharusnya adalah gabungan dari ekonomi (meningkatkan kesejahteraan), sosial –memberantas kemiskinan, dan lingkungan –menyelamatkan alam- dengan berubah dari resource exploitation ke resource enrichment.
Mas Achmad Santosa yang juga pendiri ICEL lebih mengupas perjalanan hukum lingkungan di Indonesia dari masa ke masa dan bagaimana perkembangan di tingkat global mempengaruhi pembaruan hukum lingkungan dalam negeri. Dimulai dari GBHN 1973-1978 yang pertama kali memuat gagasan pembangunan berwasasan lingkungan, UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dilanjutkan dengan diskursus global dari Brundtland Commission melalui laporannya, “Our Common Future” di tahun 1987 yang kemudian menelurkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Diskursus tersebut mendorong Indonesia untuk menerbitkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tren baik in dilanjutkan dengan pengakuan hak atas lingkungan hidup dan ecological sustainable development dalam konstitusi melalui amandemen tahun 2002, serta penerbitan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun sayangnya, ketentuan progresif yang telah dibangun saat ini perlahan mengalami regresi, utamanya pasca penerbitan UU Cipta Kerja.
Mas Achmad Santosa kemudian menekankan pada pentingnya rethinking dan revisioning hukum lingkungan di Indonesia. Penyebabnya karena kondisi saat ini justru memasuki era antroposen yang itunjukkan dengan disrupsi manusia yang merusak sistem alam dalam skala global. Kegagalan hukum lingkungan untuk menjaga keberlanjutan diperparah dengan miskonsepsi pemisahannya dengan tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi, supremasi hukum (rule of law), hingga HAM.
“Hukum lingkungan harus dapat memberdayakan negara, supaya negara juga dapat memberdayakan rakyatnya. Indonesia saat ini belum mampu menerjemahkan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam peraturannya. Perlu adanya konsolidasi ide dan pemikiran, rethinking and revisioning hukum lingkungan di Indonesia,” ujar pendiri ICEL yang kerab dipanggil Mas Ota.
Selanjutnya, Sandrayati Moniaga dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnnas HAM) selaku pembicara memberi perpektif perkembangan gerakan masyarakat sipil. Dalam cermatannya, perkembangan hukum lingkungan sejak tahun 1980 tidak lepas dari peran organisasi masyarakat sipil yang secara konsisten mengajukan upaya hukum yang mendorong reformasi hukum lingkungan, melakukan pemberdayaan masyarakat, hingga mendorong diakuinya hak-hak masyarakat hingga kearifan lokal yang turut menjaga keberlanjutan lingkungan.
Menurut Komisioner HAM ini, konsekuensi diakuinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam konstitusi. Hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak tersebut untuk seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Diakhir pemaparannya, Sandra Moniaga mempertegas bahwa gerakan lingkungan hidup dan HAM harus dilihat sebagai suatu kesatuan agar dapat menghasilkan pembaharuan hukum yang adil dan berkelanjutan.
Sementara itu, Deputi Direktur Program ICEL, Grita Anindarini, berusaha untuk melihat bagaimana perkembangan hukum lingkungan sektoral di Indonesia. Beliau menggarisbawahi tren justru menunjukkan kemunduran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai sektor. Dimulai dari sektor penataan ruang, sektor kehutanan, hingga sektor tata kelola energi dan pertambangan. Berbagai relaksasi instrumen perlindungan lingkungan hidup pada kebijakan di tingkat sektoral justru menunjukkan bagaimana penguatan instrumen lingkungan hidup yang sejak lama telah dibangun saat ini mengalami regresi.
Grita Anindarini mempertegas tantangan terberat dalam pembaharuan hukum lingkungan adalah jaminan terhadap tiga akses, yaitu hak atas informasi, hak atas partisipasi, dan hak atas keadilan.
‘’Sekalipun berbagai peraturan perundang-undangan sektoral telah menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dan mendapatkan informasi namun dalam implementasinya, pemenuhan hak ini masih menemui tantangan. Sebagai contoh, semakin sulitnya bagi masyarakat untuk mengakses dokumen lingkungan yang penting dan seharusnya dibuka ke publik seperti Amdal dan HGU, padahal proses hukum hingga berkekuatan hukum tetap telah ditempuh,’’ pungkas Gita.
Dalam webiner tersebut disebutkan 4 rekomendasi penting yang perlu diperkuat sebagai syarat pembaruan hukum lingkungan kedepannya, yaitu :
- Perlunya penekanan bahwa hukum lingkungan harus tetap berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan untuk menjamin terlindunginya lingkungan dan hak-hak masyarakat. Hukum lingkungan dalam teori, praktik maupun regulasi harus terintegrasi dengan pembangunan berkelanjutan.
- Pembangunan berkelanjutan harus fokus kepada perlindungan lingkungan hidup, keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Prinsip pembangunan berkelanjutan harus diterjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang operasional.
- Perlunya keterkaitan erat gerakan aktivisme dengan pendidikan akar rumput agar dapat menjangkau dan mendidik masyarakat yang lebih luas. Tidak cukup hanya aktivis lingkungan, kolaborasi juga perlu dibuka dengan pegiat sosial lainnya seperti HAM dan antikorupsi, serta dengan ahli maupun akademisi.
- Perlunya memperkuat kerjasama yang efektif antara institusi negara dan pemerintahan maupun organisasi masyarakat sipil yang satu visi-misi dalam menjaga hukum lingkungan pada poros pembangunan berkelanjutan. (#)
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World