Sekilas Tentang To Kalekaju
Pengantar
To Kalekaju sebuah nama yang masih relatif asing bagi sebagian orang di Sulawesi. Malah mungkin di Indonesia, nama To Kalekaju masih banyak yang belum mengetahuinya. Tulisan singkat berikut ini memberikan gambaran seperti apa To Kalekaju. Harapan dengan hadirnya tulisan ini, semoga dapat mengurangi rasa penasaran terhadap sebuah nama yang sering didengar namun belum banyak mengetahui artinya.
Pengertian secara Etimologi atau Bahasa
Dari segi etimologi To Kalekaju berasal dari kata ”To, Kale, dan Kaju” yang sederhana dapat diartikan sebagai berikut :
“To” berarti “orang atau dapat juga diartikan sebagai masyarakat lokal ‘’
“Kale” berarti “tubuh atau sebuah kawasan”
“Kaju” berarti “kayu atau dapat berarti hutan atau diartikan sebagai sumberdaya alam”
Dengan demikian To Kalekaju dapat dimaknai sebagai : Sebuah kawasan yang dihuni oleh berbagai komunitas (masyarakat lokal) di jantung ekologis Kawasan Sulawesi yang luas vegetasi hutan dan kaya dengan sumberdaya alam
Ada tiga hal yang menjadi dasar kebangkitan dan kesadaran komunitas/masyarakat lokal di wilayah To Kalekaju:
- Tanggung jawab untuk masa depan bersama sebagai jantung ekologis sulawesi
- Dari dulu sampai sekarang selalu dipinggirkan secara politik, baik oleh kerajaan–kerajaan, VOC, misionaris, maupun Negara Kesatuan RI
- Menjadi korban politik baik global maupun nasional
Kawasan To Kalekaju merupakan sebuah hamparan dataran tinggi pulau Sulawesi yang terdapat diantara pegunungan Verbeck dan pegunungan Quarless, dengan luas wilayah sekitar 3,2 juta hektar meliputi Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat. Di kawasan ini bermukim berbagai komunitas/masyarakat lokal yang menurut legenda dan sejarah komunitas/masyarakat lokal merupakan nenek moyang dari masyarakat yang bermukim di Sulawesi secara keseluruhan. Setidaknya ada beberapa komunitas/masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini, yang dalam kenyataannya mereka mengalami tekanan dan menjadi korban dari dua hegemonistik kebudayaan dari selatan (Bugis-Makassar) dan dari Utara (Minahasa dan Ternate).
Selain kaya akan keragaman budaya, kawasan tersebut juga kaya akan sumber daya alam, baik berupa bahan tambang maupun hasil hutan yang sebelumnya telah lama dimanfaatkan oleh komunitas/masyarakat lokal sekitar. Untuk itu tidaklah mengherankan kalau sampai sekarang, kawasan ini menjadi incaran berbagai perusahaan HPH, perkebunan, HTI, dan pertambangan. Seluas 1.304.863 hektar, atau sekitar 40.77 % dari semua luas kawasan To Kalekaju yang akan, sedang, dan telah dieksploitasi. Bila ditambahakan dengan kawasan konservasi maka kawasan yang “bebas” tinggal beberapa ratus ribu ha yang harus dipakai secara bersama-sama oleh kurang lebih satu juta jiwa di kawasan tersebut. Tekanan-tekanan tersebut membuat akses komunitas/masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya menjadi semakin sempit. Dikonversinya kawasan hutan menjadi perkebunan, sedikit banyaknya mempengaruhi tingkat keparahan kerusakan lingkungan yang terjadi pada kawasan To Kalekaju, padahal hampir selama berabad-abad kawasan ini merupakan ekosistem Penyanggah Pulau Sulawesi dan sumber kehidupan bagi komunitas/masyarakat lokal yang hidup di wilayah ini dan sekitarnya. Sebagian warga di Sulawesi Tenggara berkeyakinan bahwa banjir besar yang pernah melanda Sulawesi Tenggara karena akibat dari berbagai pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif di Kawasan To Kalekaju. Pada tahun 1998 terjadi banjir besar yang melanda Kabupaten Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan disinyalir merupakan bagian dari eksploitasi hutan hulu DAS Rongkong oleh HPH PT. Kendari Tunggal Timber (KTT).
Eksistensi masyarakat di dataran tinggi To Kalekaju tersebut semakin bertambah parah pada masa pergolakan DI/TII sekitar tahun 1950an, sebagian besar komunitas/masyarakat lokal mengalami permasalahan yang sampai saat ini terus berlanjut. Permasalahan tersebut diawali dengan meninggalkan wilayah-wilayah adat dan menyingkir ke daerah-daerah yang dianggap aman bahkan ada yang mengungsi dan bersembunyi ke dalam hutan hingga bertahun-tahun dan masih bertahan sampai sekarang. Kondisi ini dialami oleh kebanyakan masyarakat adat yang mendiami dataran tinggi To Kalekaju antara lain; beberapa komunitas di Toraja seperti Nanggala, Sangalla, Mengkendek, Rano, Simbuang, Makale, Rante Bua, Buntao’, Mandandan, Kesu, Sa’dan, Tikala, Rantepao. Komunitas di Seko seperti Hono’, Turong, Lodang, Singkalong, Amballong, Pohoneang, Hoyane, Beroppa’ dan Kariango. Komunitas Rampi seperti Tedeboe, Rampi/Bangko, Dodolo, Onondowa, Sulaku, dan masih banyak lagi yang lainnya. Komunitas di Rongkong. Komunitas Kalumpang seperti Tobada’ dan masih ada komunitas masyarakat adat yang belum teridentifikasi. Hal yang sama juga dialami oleh masyarakat adat Karonsi’e, Tolaki, Pamona, Sorowako, To Padoe di kawasan pegunungan Verbeek juga harus mengungsi kebeberapa daerah termasuk ada yang mengungsi ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan di beberapa daerah pesisir di Teluk Bone.
Di tingkat global, juga muncul kecenderungan yang bisa menjadi ancaman bagi komunitas To Kalekaju, yaitu terjadinya individualisasi dan komersialisasi hak-hak komunal atas sumberdaya alam sebagai akibat dari dominasi rezim global dalam pengaturan investasi dan perdagangan. Globalisasi, dari sisi yang lain, juga menawarkan peluang bagi masyarakat sebagai bagian dari gerakan internasional untuk pengembangan demokrasi, pehormatan atas HAM dan perlindungan lingkungan hidup.
Komunitas yang mendiami Kawasan To Kalekaju
Permasalahan yang Dihadapi Komunitas To Kalekaju
- Adanya berbagai hak pengusahaan hutan (PT. KTT, PT. Palapi Timber, PT. Rante Mario, PT. Panpli, PT. Zedsko Ina, PT. Sempaga Sejati, dst.
- Ada hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) dan berbagai hak guna usaha (HGU) perkebunan.
- Program-program dan lokasi transmigrasi.
- Berbagai kasus pembalakan liar (illegal logging).
- Berbagai peraturan dan perudangan yang merugikan masyarakat adat.
- Degradasi adat dan budaya.
- Tindak lanjut dan implementasi perundangan di tingkat kabupaten yang belum dilakukan.
- Hutan lindung adat dan tanah adat yang dirusak dan diklaim menjadi hutan negara.
- Penggusuran situs-situs budaya.
- Pembakaran hutan.
- Hubungan sosial dan kekerabatan masyarakat adat yang makin merosot; termasuk pengaruh dari anggota masyarkat adat yang kembali dari rantau.
- Tergusurnya masyarakat adat dari tanahnya oleh pendatang atau masyarakat lain.
- Perburuan liar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab; yang kadang-kadang melibatkan TNI dan POLRI.
- Pengebirian dan penegasian hak-hak dan ruang ruang hidup masyarkat.
Ancaman yang Dihadapi Kawasan To Kalekaju
Gambaran Wilayah To Kalekaju
Potensi Wilayah To Kalekaju
Gerakan Save To Kalekaju
- Memperkuat kedaulatan komunitas To Kalekaju atas ruang dan Sumberdaya Alam
- Membangun solidaritas antar-komunitas To Kalekaju yang senasib sepenanggungan
- Menyusun rencana terpadu Pengelolaan Ekosistem kawasan To Kalekaju.
- Mengembangkan model Pengelolaan Ekosistem Kawasan To Kalekaju yang berbasis komunitas
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World