Seko, Diantara Harapan Dan Ancaman

Oleh : Rais Laode Sabania

IMG_4964”Seko” dalam bahasa setempat berarti ”Saudara” , ”Sahabat” dan ”Teman”. Pengertian ini didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah di Dataran Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh dari sekian kecamatan di Kabupaten Luwu Utara. Luas Seko mencapai 2.109,19 Km2, wilayahnya berada di ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Rampi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toraja, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong dan bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju.

Kecamatan Seko terdiri dari 12 desa, yang semuanya sudah berstatus definitif sejak tahun 2000. selain itu terdapat 9 Wilayah Adat yang tersebar ditiga wilayah besar. Seko Padang terdiri dari empat wilayah adat, yakni Hono’, Turong, Lodang, dan Singkalong.  Seko Tengah terdiri dari tiga wilayah adat, yaitu Pohoneang, Amballong, dan Hoyyane. Sementara Seko Lemo terdiri dari dua wilayah adat yakni Kariango dan Beroppa. Ke-sembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, wilayah yang jelas, dan menerapkan hukum-hukum adatnya secara otonom.

Dalam hal pengambilan keputusan, secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan jalan musyawarah. Sehingga keputusan tertinggi harus berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dikenal dalam bahasa lokalnya dengan istilah mukobo, mukobu, silaha-laha, ma’mesa sua atau ma’bua kalebu.

Seko adalah Jantung Sulawesi, sebuah wilayah yang sangat subur dan kaya akan sumber daya alam. Secara umum masyarakat Seko adalah petani. Dalam hal pertanian Seko dikenal sebagai wilayah penghasil kopi, coklat dan beras tarone, salah satu jenis varietas padi unggul yang tidak akan kita temukan di wilayah lain.

Tapi ada satu persoalan urgen bagi masyarakat Seko yaitu persoalan transportasi. sampai saat ini masyarakat Seko hanya menggunakan ojek sebagai sarana transportasi utama yang didukung oleh sarana tranportasi udara dengan frekuensi penerbangan tiga kali seminggu. Jika di ukur berdasarkan indikator jarak fisik ke lokasi, waktu tempuh, serta biaya perjalanan. kondisi sarana dan prasarana menunjukkan bahwa tingkat aksesibilitas untuk wilayah Seko tergolong ke dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan oleh kondisi prasarana jalan yang sangat jelek dengan jarak tempuh yang relatif jauh sehingga mengakibatkan waktu tempuh yang lama serta biaya yang relatif mahal dalam melakukan perjalanan.

Dengan kondisi demikian, tentu ada kerinduan tersendiri bagi masyarakat Seko untuk menikmati infrastruktur jalan yang memadai, agar pendistribusian hasil pertanian masyarakat bisa lancar, sebagaimana yang dirasakan wilayah lain. Namun di tengah harapan itu, masyarakat Seko harus menghadapi ancaman besar.

Sumber daya alam yang melimpah menjadikan Seko sebagai wilayah rebutan para investor. Sudah puluhan tahun masyarakat Seko dibuat resah oleh kehadiran PT. Seko Fajar (HGU perkebunan) yang secara administrative menguasai ± 27.000 ha atau 6 desa yang ada di Wilayah Seko Padang. Selain itu, keresahan masyarakat Seko bertambah dengan adanya rencana pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada, beserta beberapa perusahaan tambang emas dan biji besi yang telah mengantongi izin eksplorasi di Wilayah Seko.

Kini, masyarakat Seko berada diantara harapan dan ancaman. Informasi atau pun Janji-janji yang datang dari pihak perusahaan tentang perbaikan jalan, terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi dll, tentu senada dengan apa yang ada dasar hati (tidak hanya) masyarakat Seko, yang selalu merindukan perubahan yang lebih baik. Tapi satu hal yang patut digarisbawahi bahwa kejahatan perusahaan seringkali dimulai darikejahatan informasi”.

Hal lain yang patut dicatat, salah satu dimensi kemiskinan yang selalu diabaikan oleh Negara adalah dimensi kemiskinan yang bersangkutpaut dengan relasi-relasi AGRARIA. Relasi agraria yang timpang merupakan dimensi kemiskinan yang berkenaan dengan persoalan tenurial security, yakni bagaimana penguasaan masyarakat atas sumber-sumber agraria dan bagaimana jaminan keamanannya.

Kasus penetapan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan, rencana pembangunan PLTA, konsesi pertambangan dll di wilayah masyarakat (mayoritas petani) yang tidak didahului oleh proses konsultasi dan persetujuan dari masyarakat setempat adalah ruang reproduksi kemiskinan yang paling nyata.

Salah atu alat produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah tanah. karena itu, pengambil alihan tanah-tanah masyarakat atas nama apapun adalah kejahatan kemanusiaan yang tak dapat dibenarkan.

Tengoklah Seko. Disana lagi-lagi pemerintah sedang mempertontonkan ego. Pemerintah berdalih atas nama pembangunan. Seko tidak bisa dibangun jika hanya mengandalkan anggaran APBD, Seko hanya bisa dibangun jika ada investor, muslihat klasik yang mendarah daging ditubuh pemerintah.

Namun ada pernyataan menarik yang seringkali dilontarkan oleh sebagian masyarakat Seko.

“Kami tidak anti pembangunan, kami sangat mendambakan pembangunan dan perubahan untuk wilayah kami, namun kami tidak ingin pembangunan yang mengganggu ketenangan kami, kami tidak ingin pembangunan yang akan merampas sumber kehidupan kami”.

Pernyataan ini sangat tegas, logis, dan rasional. Pada dasarnya tidak ada satupun masyarakat yang menolak pembangunan, jika pembangunan itu betul-betul untuk kesejahteraan. Tapi lain halnya jika pembangunan itu tidak menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat.

Patutkah masyarakat dipersalahkan apabila mempertanyakan kepada pemerintah mengenai rencana pembangunan yang akan berdampak langsung terhadap penghidupan mereka? Pantaskah masyarakat dipersalahkan jika mempertanyakan rencana pembangunan PLTA itu untuk siapa? Apakah listrik dengan kapasitas (Seko 1 : 3×160 MW & Seko 2 : 3×130 MW)  itu murni untuk masyarakat, ataukah berkaitan erat dengan beberapa perusahaan tambang yang mengintai bersama izin eksplorasi yang dikantonginya?

Tidak sama sekali, masyarakat berhak bertanya. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap, dan masyarakat memiliki kedaulatan penuh untuk memutuskan YA atau TIDAK-nya sebuah rencana pembangunan. Masyarakat tidak boleh diposisikan sebagai obyek yang terus-terusan harus tunduk dan patuh terhadap kehendak pemerintah. Justru sebaliknya, pemerintahlah yang harus tunduk dan patuh kepada keinginan dan kepentingan masyarakat, terkecuali jika pemerintah sudah lupa hakikat berdirinya Negara, dan lupa darimana kekuasaan itu lahir.

Tapi, sekali lagi ini soal nurani, apakah pemerintah bersetia pada nilai kemanusiaan sebagai hal yang paling pokok dalam politik, atau hanya taat pada ritual politik yang semata-mata menyembah harta dan kekuasaan, itu soal lain, sama sekali soal lain.

Persoalan yang ada di Seko menuai perdebatan banyak kalangan, baik diinternal masyarakat Seko sendiri, maupun kelompok kepentingan lain di luar Seko. Terutama soal rencana pembangunan PLTA di wilayah Seko yang saat ini lagi memanas, hanya saja persoalannya tidak diletakkan secara bijak dan menyeluruh. Sebagian pihak hanya berangkat pada kondisi temporal. Hanya berangkat dari hasil pilkada Luwu Utara, dan berdebat soal adanya janji-janji politik untuk masyarakat Seko yang katanya pernah dilotarkan salah satu kandidat saat kampanye. Hanya berdebat apakah janji tersebut bisa dipenuhi atau tidak. Hanya berdebat soal transisi kepemimpinan Luwu Utara, apakah lebih baik dari yang lalu atau tidak. Tentu perdebatan semacam ini mereduksi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Seko.

Perdebatan atas persoalan yang dihadapi masyarakat Seko bukan soal bagaimana pemerintahan transisi memenuhi janji politiknya, sekiranya memang pemerintahan transisi saat ini pernah berjanji untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat Seko. Penting untuk diurai dan dilihat secara objektif, seberapa besar kewenangan pemerintah daerah, seberapa besar kewenangan pemerintah provinsi, dan seberapa besar kewenangan pemerintah pusat dalam persoalan tersebut.

Terlalu sempit jika perdebatannya kita sandarkan pada janji politik semata (apalagi level kabupaten), yang sifatnya sangat temporal. Ini bukan soal janji politik, bukan pula soal siapa menang dan siapa kalah dalam perhelatan pilkada, tapi ini soal bagaimana pemerintah (Disetiap Wilayah Indonesia) mampu menghadirkan Negara yang Menghargai, Menghormati dan Memenuhi Hak-Hak Warga Negaranya. Bukan malah sebaliknya, melakukan segalanya seenak perut. Karena sejatinya Negara hadir untuk tiga hal tersebut, yakni menghargai, menghormati dan memenuhi hak-hak warga Negara, sekiranya bukan karena ketiga hal itu, maka untuk apa kita ber_Negara?

Mengenai pembangunan dan perubahan sebuah wilayah, tentu kita tidak berbicara mengenai ruang hampa, melainkan ruang social masyarakat, sehingga hak-hak masyarakat setempat tidak boleh diabaikan, harus dihargai, dihormati dan dipenuhi. Masyarakat tidak bisa diposisikan sebagai pihak yang “ditolong” oleh pemerintah, namun sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di Negara ini. Tak dapat disangkal bahwa masyarakat adalah unsur paling vital dalam sebuah Negara, karena itu Negara tidak boleh hadir sebagai mesin penindas atau predator yang memosisikan masyarakat ibarat makanan gurih yang siap disantap kapanpun dan dimanapun.

Tulisan ini tidak bermaksud mengambil alih kedaulatan masyarakat Seko untuk memutuskan, MENOLAK atau TIDAK terhadap rencana proyek pembangunan apapun yang ada di Seko. Penulis hanya berupaya mengangkat persoalan yang dihadapi masyarakat Seko pada tataran yang lebih luas. Penulis sangat menyadari, tak ada kata “atas nama” dalam hal KEDAULATAN, masyarakatlah yang berhak memutuskan ”YA” atau ”TIDAK” atas segalanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea