Tujuh Rekomendasi Percepatan Perhutanan Sosial dan TORA

Agenda Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) masih menjadi program prioritas pembangunan nasional dalam menyelesaikan ketimpangan kesejahteraan petani miskin dan masyarakat adat, konflik, serta krisis ekologi. Dalam pencapaiannya, melalui Kementrian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasang target 9 juta hektar untuk Reforma Agraria, dan 12,7 juta hektar untuk Perhutanan Sosial yang akan dicapai selama 5 tahun sesuai RPJMN 2015-2019. Namu pada proses berjalan, hingga tahun 2017 target tersebut diturunkan menjadi 5 juta hektar sebagai target realistis yang bisa dicapai. Asumsinya dengan pencapaian 1 juta hektar setiap tahun, sehingga selama 5 tahun alokasinya bisa mencapai 5 juta. Hal sama juga terjadi pada target pencapaian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang masih jauh dari harapan.

Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pemerintah memasang target luasan mencapai 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan(HKM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Hutan Kemitraan (HK). Namun dalam prosesnya hingga tahun 2017 target tersebut diturunkan menjadi 5 juta hektar dengan pembagian waktu 1 juta hektar pertahunnya.

Ahmad Surambo dari Sawit Watch yang tampil sebagai narasumber pada Konsolidasi dan Workshop Percepatan Perhutanan Sosial, Hutan Adat dan TORA yang dilaksanakan di Masamba Kabupaten Luwu Utara, 1-3 Februari 2018 lalu, menjelaskan keterkaitan progres target dengan upaya pemerintah selama ini belum menyelesaikan berbagai konflik antara masyarakat dengan kawasan Hutan Lindung (HL), hutan konservasi, dan HGU.

Menurutnya, apa yang dilakukan selama ini oleh pemerintah melalui TORA dan Perhutanan Sosial bukan hanya sebatas sertifikasi belum pada penyelesaian konflik, belum lagi bagaimana mempercepat proses sejumlah pengajuan Hutan Adat sebagai Hutan Hak yang juga harus diselesaikan segera sebagai impelementasi MK 35 Tahun 2012. “Apa yang kita lihat selama ini pemerintah hanya melakukan sertifikasi bukan penyelesaian konflik-konflik dalam kawasan hutan dan HGU dengan masyarakat.”

Lanjut Ahmad Surambo menjelaskan ada sejumlah skema TORA yang sampai hari ini belum jelas berapa luasannya yang akan direalisasikan pemerintah. Diantaranya Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Program pemerintah untuk pencadangan percetakan sawah baru, pemukiman transmigrasi beserta fasos dan fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip, pemukiman fasos dan fasum, lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat, pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat.

“Kita tak pernah tahu berapa banyak luasan dari skema TORA yang diprogram pemerintah untuk diberikan pada masyarakat melalui skema TORA” kata Ahmad Surambo menyebut penurunan target perhutanan sosial dari 12 juta hektar menyusut menjadi 5 juta hektar, sedangkan TORA sendiri belum jelas berapa luasan yang ditargetkan pemerintah.

Dalam Konsolidasi dan Workshop Perhutanan Sosial, Hutan Adat, dan TORA yang berlangsung selama tiga hari yang difasilitasi oleh Perkumpulan Wallacea, Sawit Watch, FKKM, LEI, serta HUMA dihadiri oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, KPH se-Luwu Raya, sejumlah komunitas adat/komunitas lokal se Luwu Raya, dan NGO melahirkan tujuh rekomendasi.

Adapun tujuh rekomendasi yang dihasilkan, yaitu:

  1. Bekerja bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Desa dan PDTT, Pokja PPS Nasional, Sekretariat RAPS, dan para pihak melakukan sosialisasi dan assessment ke desa-desa yang berada di areal PIAPS dan atau berada di kawasan hutan dalam rangka identifikasi potensi desa hutan dan skema perhutanan sosial yang tepat untuk desa tersebut.
  2. Menyelenggarakan Coaching Clinic di tingkat kabupaten, KPH, atau provinsi untuk dan melatih dan membantu desa-desa hasil assessment pada point (1) menyusun dokumen usulan perhutanan sosial.
  3. Kegiatan verifikasi yang diselenggarakan oleh Balai PSKL bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, KPH dan Pokja PPS setempat. Sementara kegiatan verifikasi yang dilaksanakan oleh Direktorat PKPS bekerjasama dengan Pokja PPS Nasional, Sekretariat RAPS dan para pihak.
  4. Kegiatan drafting SK perhutanan sosial dilaksanakan oleh Direktorat PKPS, Bagian Hukum PSKL bekerjasama dengan Pokja PPS Nasional dan Sekretariat RAPS ( Pokja PPS Nasional dan Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim Legal Drafting).
  5. Kegiatan pembuatan peta sebagai lampiran SK dilaksanakan oleh Direktorat PKPS berkerjasama dengan dengan Pokja PPS Nasional dan Sekretariat RAPS ( Pokja PPS Nasional dan Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim GIS).
  6. Perlu dilakukan pertemuan secara ruguler antara Direktorat PKPS dengan Pokja PPS Nasional dan Sekretariat RAPS untuk memantau perkembangan proses legalitas perhutanan sosial dan mendiskusikan kerjasama dan dukungan yang diperlukan untuk percepatan.
  7. Penguatan dan pendampingan KPH dan Pokja PPS tingkat provinsi dalam rangka fasilitasi perhutanan sosial pasca legalitas.

Sementara itu Perkumpulan Wallacea yang selama ini mendampingi beberapa komunitas masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wilayah lindung dan konservasi sekaligus sebagai fasilitator dalam workshop, berharap adanya rekomendasi dapat melahirkan dukungan dan komitmen bersama baik ditingkat pemerintah dan masyarakat, NGO serta komunitas untuk berkerjasama dan komitmen mempercepat perhutanan social di Luwu Raya.

“Kita sudah melakukan sharing informasi dan konsolidasi data dengan pihak-pihak yang hadir dalam workshop ini, harapannya ada komitmen bersama antara NGO, komunitas dan pemerintah untuk bekerjasama mempercepat proses perhutanan sosial, pengakuan wilayah adat dan TORA di wilayah Luwu Raya, ” pungkas Direktur Perkumpulan Wallacea Basri Andang.

Narasumber yang juga hadir membahas percepatan Perhutanan Sosial dan TORA di Luwu Raya tersebut, yaitu Kepala Bappeda Luwu Utara Ir Rusdi Rasyid, Direktur Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Heriyadi, dan Ketua BPH AMAN Sulsel Sardi Razak.

Selain ketujuh rekomendasi tersebut, para pihak telah mengkonsolidasikan data lokasi, kondisi, dan kesenjangan PS dan TORA dserta langkah yang akan dilakukan dalam setahun dan kedepannya. Rumusan tersebut terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Perhutanan Sosial,Hutan Adat, dan TORA yang ada di Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur.

Andri Santoso Sekjen FKKM sebagai fasilitator menyampaikan, hasil dari pertemuan di Masamba ini akan membantu proses Perhutanan Sosial dan TORA di Sulawesi Selatan.  ”Capaian hari ini akan berkontribusi terhadap  pembahasan kondisi Perhutanan Sosial di level propinsi,” katanya. (acep)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea