Belajar dari Kisah Bungku Owi Tokey Singkalong

img_4124
Pengukuhan Perangkat Kelembagaan Adat “Bungku Owi Tokey Singkalong”

Senin, lima September 2016 saya bersama Ismail Putra Hono anggota Perkumpulan Wallacea menuju Singkalong, Desa Taloto, memenuhi undangan tiga acara yang dihelat dalam tiga hari; seminar aturan adat, pegukuhan lembaga adat dan syukuran 50 tahun dari pengungsian. Singkalong merupakan satu komunitas adat yang berada di Wilayah Adat Seko di bawah pimpinan Tokey, selain dari To Bara dan Tomakaka.

Rabu pagi 7 September 2016, di Timur matahari mendaki bukit-bukit padang, langit To Singkalong kala itu membiru, tak ada apa-apa di langit, awan pergi diarak angin, mengosongkan pembatas yang mengaburkan tatapan mata di langit Desa Taloto. Lima batang tebu besar menjulang di tengah tenda, beberapa tunas tumbuh mengikuti, dedaunan yang tumbuh meruncing di ujung batang tebu menari terterpa angin. Dalam kehidupannya To Singkalong menyimbolkan diri dalam ikatan rumpun tebu mereka menyebutnya “Bungku Owi Singkalong”[1] Perumpamaan ikatan sosiologis masyarakat yang tumbuh dalam satu rumpun, kehidupan tanpa persatuan takkan berguna. Manusia yang hidup dengan alam memang menggerakkan dirinya kedalam tanda tumbuhan, simbol yang mewakili nilai nilai kehidupan, penanda keterkaitan, keseimbangan manusia dan alam untuk tetap bergerak tanpa saling merusak.

Di pagi itu dengan “Bungku Owi” To Singkalong menenun diri dalam baju adatnya, mereka menapaki dua kisah kedatangan dalam belokan-belokan cerita, menapaki kehadiran di lembah Singkalong, lalu mendaki bukit sejarah, mengelilingi lereng-lereng pegunungan menapak tilas sejak 50 tahun kepulangan dari pengungsian.

Menurut catatan yang dinarasikan tokoh adat Singkalong, tahun 1700 M, adalah awal mula kedatangan orang Rampi di Singkalong. Tiwonto dan Hingkati dari Lowa, kala itu berburu dari Rampi sampai ke Ruwai. Mereka merebut kampung Ruwai. Ruwai kemudian diklaim Tokey Lowa sebagai Tangkona Rampi [1].  Sementara orang Bada’ memusnahkan Kampung Totiko dan memaksa mundur Tubara Talotong keluar dari Taloto dan pindah ke Bongko. [2]

Tahun 1860-an, laskar dari Lowa memberi kabar kepada pemberani Makole Baebunta dan Tokey Lowa mengenai kondisi alam di Ruwai tempat hidup yang indah. Lalu diadakan musyawarah untuk meninjau wilayah. Pemberani ini berhasil merebut kampung Totiko yang terletak di Mate sekarang dan kampung Tokuni dari tangan orang bada’. Perseteruan Bada dan Kerajaan Luwu membuat kerajaan Luwu menjajaki kerjasama dengan Rampi, sebab disana dikabarkan ada kesatria-kesatria pemberani.

Pada Tahun 1890 Makole Baebunta menuju Rampi. Dalam setiap sejarah, cinta menjadi bagian penting dalam menentukan sejarah. Sebagaimana kisah Arjuna yang jatuh hati pada Drupadi dalam kisah Mahabrata. Hal yang sama terjadi dalam sejarah To Singkalong. Makole Baebunta menaruh hati dengan anak Tokey Lowa. Hingga akhirnya keduanya menikah.

Dari sinilah jejak kisah To Singkalong bermula. Pada akhirnya Makole dan istrinya berpamit meninggalkan Rampi, melewati hutan belantara Seko menuju Luwu.  Tokey Lowa berpesan:

‘Ane wute mokey wae ino’o imbo pe oha’a mi, Ewa kei wae bungkuna owi, ala ane hawa key wato’o hawa’ kei intu maroho metoti’i, nolou humei kei intu no parowohi hey modungka”.  Terjemahan bahasa Indonesianya: ”Kalau kamu sudah sampai di tempat tujuan hendaklah kamu seperti seikat pohon tebu, karena kalau kamu tidak seperti itu kamu akan mudah terombang ambing, tidak teguh berdiri dan akan tumbang.”

Melewati belantara hutan, melintasi lereng pegunungan, hingga sampai di daerah Lolumba/ Maiting. Istri Makole tidak bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya mereka menetap Lolumba atau di Pitu Tuminna. Di tempat itupula istri Makole melahirkan seorang anak laki laki yang diberi nama Hi Lampi yang artinya “tertinggal” ditengah jalan.  Beberapa tahun kemudian istri Makole melahirkan anak kedua yang diberi nama Hi Loi artinya “tergantung” antara Rampi dan Luwu, anak ketiga diberi nama Hi Tuila “Tidak menentu”  yang memilki arti bahwa rombongan itu hidup tidak menentu, tidak sebagai masyarakat Baebunta dan juga tidak sebagai masyarakat Rampi. Mereka tidak meneruskan penjalanan ke Baebunta dan juga tidak kembali ke Rampi.

Rombongan inilah yang bergabung dengan orang Rampi yang datang pada tahap pertama di Ruwai dan tahap kedua di Totiko dan Tokuni dan kemudian berkembang di Lolumba, mengambil nama Totikalo yang berarti bercampur.

Ketika hendak terjadi perang suku antara Kulawi dan Hono di Bongkok. Orang Rampi bergabung dengan orang Hono berkumpul di Lipu Matua [5] mengumpulkan kekuatan melawan serangan orang Kulawi. Awalmula kerjasama yang dilakukan antara orang Hono dan Rampi. Dalam perang tersebut Orang Hono dan Rampi berhasil mengalahkan orang Kulawi yang menyerang. Itulah sebabnya hingga kini ada nama Dolang Tu Rampi di Lipu Matua.

Kisah kedatangan kedua.  Kisah masyarakat Singkalong bukan hanya soal kedatangan mereka tetapi juga ketika mereka harus pergi meninggalkan wilayah mereka karena perang DI/TII Pimpinan Kahar Muzakkar. Tahun 1950- an mereka meninggalkan Sigkalong.  Menurut masyarakat Singkalong kepergian mereka karena dua hal, pertama: untuk mempertahankan keyakinan mereka, dan kedua:  untuk menyelamatkan kehidupannya.

Kini di Bungku Owi Singkalong telah hidup 50 tahun sejak kembali dari pengungisan. Mereka hidup toleran bersama ummat muslim. To Singkalong mengajarkan bagaimana hidup toleran. Kedamaiaan hanya bisa ditemukan jika filosofi Bungku Owi Singkalong itu tetap ada, ikatan rumpun kehidupan tetap terjaga. Dalam kisahnya pula mereka mengatakan pernah satu waktu ketika Bungku Owi Singkalong tidak dijaga masyarakat terkena wabah penyakit.

Kedatangan bungku Owi Singkalong dalam dua kisah, pesan-pesan moral tentang hidup dan bagaimana interaksi sosial selalu terjaga. Dalam benak penulis, puncak kesyukuran adalah dengan menjalankan aturan yang telah tumbuh sejak manusia menjejak tanah dalam harmoni keseimbangan. Hingga akhirnya, mungkin kita perlu berkata pelajaran bukan hanya ketika anda duduk mendengarkan seseorang di depan anda berbicara sebagai tuan kata-kata, tetapi pelajaran ditemukan dalam segala gerak meskipun tanpa kata, mereka yang melakon diri dalam apa yang dipahami, simbol- simbol kehidupan mewakili kehidupannya.

Penulis : Hajaruddin Anshar/Anggota Perkumpulan Wallacea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea