Dialog Live Radio To Kalekaju FM, ”Tata Ruang Untuk Siapa?”
Menggugat Tata Ruang Kota Palopo menjadi tema dialog live Radio To Kalekaju 107,7 FM (18/12) sebagai upaya mendorong resolusi konflik kehutanan yang terjadi di Kelurahan Battang Barat melalui pengawalan revisi Rencana Tata Ruang. Secara khusus lagi, dialog ini mempertanyakan tujuan dari penyusunan penaataan ruang yang telah mengorbankan kebutuhan dan hak-hak dasar warga yang tinggal di Kelurahan Battang Barat, yang menderita karena TIDAK memiliki RUANG untuk HIDUP setelah kampung dan wilayah kelolanya dijadikan kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi.
Pemkot Palopo melalui perda RTRW Kota Palopo Tahun 2012-2032 tidak menunjukkan keberpihakan terhadap keberadaan warganya sebanyak 247 KK yang ada di Kelurahan Battang Barat. Pasal 33 RTRW Kota Palopo, justru menghimpit RUANG HIDUP masyarakat Battang Barat dengan ditetapkannya Kawasan Hutan Konservasi seluas lebih kurang 968,21 hektar yang terletak di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat. Bukan hanya itu, RUANG HIDUP warga Kelurahan Battang Barat semakin terhimpit karena dijadikan Kawasan Hutan Lindung. Pasal 32 RTRW Kota Palopo, menyatakan Kawasan Hutan Lindung seluas lebih kurang 8.297,58 hektar terletak di Kelurahan Latuppa, dan Kelurahan Kambo Kecamatan Mungkajang, Kelurahan Battang, Kelurahan Battang Barat, dan Kelurahan Padanglambe Kecamatan Wara Barat.
Padahal seharusnya, sebelum penetapan Perda RTRW Kota Palopo Nomor 9 Tahun 2012, Pemkot Palopo memperhatikan Perda pembentukan Kelurahan Battang Barat sebagai kelurahan definitif. Layaknya sebuah kelurahan definitif yang juga perlu memiliki konsep pengembangan wilayah. Ini terkesan, Pemkot tidak serius menjalankan Perda yang dibikin sendiri yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Kerja Pemerintah Kecamatan dan Kelurahan Di Kota Palopo yang menetapkan Battang Barat sebagai salah satu Kelurahan defenitif di Kecamatan Wara Barat. Hal ini berarti sudah menjadi tanggungjawab Pemkot untuk memenuhi pelayanan atas kebutuhan dasar warganya yang ada di Kelurahan Battang Barat. Jika demikian, pertanyaan besar yang harus dijawab,”Tata Ruang untuk Siapa?”
Kampanye Resolusi Konflik Kehutanan Melalui Revisi Tata Ruang
Sehari sebelumnya (17/12) Radio To Kalekaju FM juga menggelar Talkshow dengan menghadirkan narasumber dari Dinas Kehutanan dan masyarakat Battang Barat. Talkshow dan Dialog Live Radio bertema,” Menggugat Tata Ruang Kota Palopo: Tata Ruang untuk Siapa?” dilaksanakan Kantor Perkumpulan Wallacea.
Peserta yang hadir pada dialog live radio berasal parapihak yang berkepentingan, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Bappeda, aktivis NGO atau pemerhati lingkungan, perwakilan BEM, dan komunitas-komunitas yang berasal dari dataran tinggi Kota Palopo,- seperti Kambo, Latuppa, Padang Lambe, dan komunitas Ba’tan yang ada di wilayah To jambu.
Pemutaran film dokumenter,”Menjaga Kearifan Lokal, Mencegah Perubahan Iklim Global” yang menggambarkan tingginya komitmen komunitas Ba’tan di Wilayah To Jambu Kelurahan Battang Barat dalam pelestarian lingkungan atau sumber daya alam secara turun temurun. Film tersebut sekaligus menjadi pengantar dialog, sebelum narasumber memaparkan materi-materinya. Narasumber yang hadir, yakni Kabid Kehutanan Hasrul,S.Hut., M.Si, dengan materi,”Upaya Mendorong Revisi RTRW Kota Palopo,” Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda Kota Palopo Ir. Subhan, dan Koord. Divisi Pembaharuan Agraria dan PSDA Perkumpulan Wallacea Hamsaluddin,S.Pd., materinya, ” Analisis Ruang Wilayah Kelola Masyarakat dengan Hutan Lindung dan TWA Nanggala III.”
Hanya satu yang selalu masyarakat Battang Barat perjuangkan, yaitu bagaimana supaya wilayahnya dikeluarkan dari hutan lindung dan hutan konservasi. Hampir setiap pertemuan dengan parapihak, masyarakat hanya meminta supaya hak kelolanya diberikan kembali. Pada dialog tersebut, seorang warga Battang Barat hanya menanyakan satu hal tapi sangat ugen, yaitu, ” Adakah peluang wilayah mereka dilepaskan dari kawasan hutan lindung dan hutan konservasi?”
Jawaban dari Kehutanan, Hasrul mengatakan jika peluang itu tetap terbuka hanya harus mengikuti prosedur yang ada. Selain itu, peluang revisi tata ruang juga bisa dimanfaatkan. Sama halnya dengan Hamsaluddin dari Perkumpulan Wallacea,” peluang ada dan diatur oleh beberapa regulasi, apalagi luas tutupan hutan Kota Palopo masih sangat tinggi yaitu sebanyak 45 persen sedangkan diwajibkan hanya 30 persen. ”Kalau mau meminimalisir konflik pemanfaatan ruang di Kota Palopo, maka seharusnya Pemkot merevisi RTRWnya karena persen luas tutupan hutan Kota Palopo lebih dari ketetapan dalam RTRW yang seharusnya hanya 30 persen saja, tapi kalau di Kota Palopo jauh lebih tinggi yaitu 45 persen,” tegas Koordinator Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) Perkumpulan Wallacea.
Dilaog live ini melahirkan rekomendasi dan usulan yang perlu ditindaklajuti sebagai upaya resolusi konflik kehutanan di Battang Barat, yaitu: peluang mendorong revisi RTRW Propinsi dan RTWRW Kota sebagai resolusi konflik, pengawal penyusunan SK/Perwali Pengakuan Komunitas Ba’tan Barat, dialog terus dilakukan untuk penyelesaian konflik, dan tawaran model desa/kelurahan konservasi dan PNPM Kehutanan sebagai alternatif. (*)
Kategori
- Film Dokumenter
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Publikasi
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World