Penulis : Bernadinus Steni, Perkumpulan HuMa

Bernadinus Steni
Bernadinus Steni

Jakarta, 21 April 2010

Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan tidak selalu berjalan harmonis tapi diwarnai riak konflik yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Untuk mengatasi dan mencegah berulangnya persoalan-persoalan tersebut, maka lahir apa yang disebut dengan Free and Prior Informed Consent atau FPIC sebagai salah satu instrumen dalam hukum Internasional untuk melindungi hak-hak orang atau komunitas yang potensial terkena pengaruh suatu proyek pembangunan.

Apa itu FPIC ?

Free and Prior Informed Consent (selanjutnya disingkat FPIC) semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya harus mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi (sebagai perlindungan hak individual pasien). Salah satu kodifikasi formal pertama PIC (Prior Informed Consent) adalah Kode Nuremberg tahun 1947 yang berhubungan dengan syarat melakukan riset dan eksperimen medis terhadap manusia.

Kode Nuremberg terbentuk karena dalam proses peradilan penjahat perang dunia II, khusus untuk para dokter dan ilmuwan Nazi di Nuremberg, 25 October 1946 sampai 20 August 1947, ditemukan begitu banyak fakta mengenai percobaan atas tubuh manusia oleh regim fasis Nazi yang merendahkan dan menghina martabat manusia. Kode Nuremberg 1947 mengeluarkan 10 standar yang harus dipatuhi dokter ketika hendak mengadakan eksperimen atas tubuh manusia. Dalam poin pertama standar disebutkan:

Persetujuan yang dilakukan secara sukarela oleh subyek manusia merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan….” Standar ini mengawali berkembangnya prinsip consent yang berkembang luas dalam bidang kedokteran dan kemudian menjadi Informed Consent dan selanjutnya Prior Informed Consent (PIC).

Dari bidang kedokteran PIC kemudian berkembang menjadi FPIC yang menyebar ke berbagai kegiatan non medis. FPIC sebagai klausula medical-normatif yang awalnya bersifat individual, saat ini telah ditransformasikan dalam berbagai kaidah hukum internasional yang bersifat komunal.[1]

Sebuah definisi tentang PIC menyebutkan:

PIC adalah ijin sosial untuk bertindak. PIC merupakan cara yang ampuh untuk meyakinkan bahwa orang yang potensial terkena dampak memiliki semua informasi yang diperlukan sehingga dapat melakukan negosiasi dalam hubungan yang setara dengan penganjur proyek. PIC berarti bahwa orang yang terkena dampak memiliki kekuatan untuk memveto proyek apapun yang terdapat dalam wilayah mereka. Dengan kekuatan veto itulah hadir kekuatan penyeimbang untuk bernegosiasi dalam hubungan yang setara dengan pengajur.[2]

Peta Wilayah Tambang, Wilayah Moarotium Hutan Alam dan Wilayah Kelola Masyarakat Lokal di Luwu Raya
Peta Wilayah Tambang, Wilayah Moarotium Hutan Alam dan Wilayah Kelola Masyarakat Lokal di Luwu Raya

Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur atau prinsip penting yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif (bersama-sama). Secara definitif keempat hal ini dapat diartikan sebagai berikut:

  • Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat. Prinsip umum dalam hukum adalah persetujuan dikatakan tidak sah jika diperoleh melalui atau berlangsung di bawah tekanan maupun manipulasi (khilaf, tekanan, manipulasi. Lihat pasal 1320 KUHpdt). Selain itu, walaupun tidak ada aturan hukum dan kebijakan yang memadai, mekanisme tetap harus dibangun supaya memastikan bahwa persetujuan diperoleh lewat proses yang bebas.
  • Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat. Untuk itu, harus ada jangka waktu yang jelas untuk memastikan bahwa pihak yang terkena dampak memiliki waktu yang cukup untuk memahami informasi yang diterima, meminta informasi tambahan atau klarifikasi dari pihak pemrakarsa proyek, mencari nasihat atau pendapat pihak ketiga (ahli, dll), dan menentukan maupun menegosiasikan keadaan yang mereka alami. Perundingan dengan pihak yang berpotensi terkena dampak harus sudah dilakukan sebelum pemerintah dan pemrakarsa proyek memutuskan rencana yang hendak dikerjakan.
  • Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang benar dan cukup. Artinya, pemrakarsa proyek menginformasikan tentang seluruh seluk beluk proyek, antara lain: baik buruk dari proyek, jenis, ukuran dan cakupan aktivitas/proyek yang diusulkan, jangka waktu, luasan wilayah yang terpengaruh, kajian awal mengenai kemungkinan dampak yang terjadi, alasan dan tujuan aktivitas/proyek, pihak-pihak yang kemungkinan terlibat dalam fase konstruksi maupun operasional proyek/aktivitas (sponsor atau penyandang dana, masyarakat lokal, periset, dll). Dalam menyampaikan informasi tersebut, pemberi informasi harus menggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh masyarakat di lokasi yang potensial terkena dampak proyek. Selain itu, pemberian informasi juga dilakukan pada waktu yang tepat dan tidak berubah-ubah secara sepihak tapi harus disepakati dengan masyarakat di wilayah yang potensial terkena dampak proyek. Juga harus ada kejelasan mengenai proses dan tahapan pemberian informasi.
DSC09578
Salah Satu Wilayah Masyarakat Adat Incaran Tambang
  • Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri. Konsultasi dan partipasi yang penuh dari masyarakat yang potensial terpengaruh oleh proyek mengenai semua aspek (kajian awal, perencanaan, penerapan, pengawasan, dan penutupan proyek). Persetujuan diberikan oleh otoritas yang mempunyai hak memberi persetujuan. Untuk sampai pada persetujuan harus dilakukan dengan menggunakan hukum lokal. Dan yang tidak kalah pentingnya, FPIC harus didokumentasikan dan mengikat secara hukum.[3]

Secara historis-sosiologis, konsep FPIC sebenarnya bukanlah introduksi konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia.[4] Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintai persetujuannya tanpa paksaan sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapatkan persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu[5].

Lanskap Wilayah Masyatakan
Lanskap Wilayah Masyatakan

FPIC bukan proses gelondongan atau sekali jadi, tetapi proses yang terus dilakukan tidak hanya ketika proyek hendak diusulkan tetapi juga pada saat proyek dilaksanakan hingga proyek berakhir. Artinya, setiap aktivitas dalam proyek yang berpengaruh terhadap komunitas harus menempuh proses FPIC. Komunitas memiliki hak veto untuk menentukan setuju atau tidak atau merumuskan opsi lain terhadap suatu proyek pembangunan tersebut. Jika tidak setuju maka pengajuan atau pelaksanaan proyek tersebut harus dihentikan. Jika ada opsi lain maka opsi-opsi tersebut harus masuk dalam kerangka perbaikan rencana atau implementasi proyek.

Keistimewaan FPIC ada pada dua aspek. Pertama, hak menentukan pola dan model pembangunan bagi suatu komunitas ada pada komunitas yang bersangkutan tidak dikemudikan orang lain. Kedua, FPIC mengandalkan dialog sebagai metode pengambilan keputusan bukan penentuan pendapat secara sewenang-wenang oleh suatu kelompok atau elit. Karena itu, secara prosedural FPIC adalah dialog terus menerus antara berbagai pihak dalam masyarakat dan antara masyarakat dengan pemrakarsa proyek. Seringkali FPIC dianggap penghambat pembangunan tetapi justru FPIC adalah lisensi sosial-politik paling mendasar terhadap pembangunan. Tanpa FPIC, proyek pembangunan apapun bentuknya kehilangan legitimasinya dan hanya berhenti menjadi wujud fisik yang tidak dihargai komunitas di sekitar proyek tersebut

Mengapa FPIC Penting ?

Pelaksanaan FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal. Secara politis, kewajiban mentaati kehendak rakyat menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi selain dari suara rakyat sendiri. Secara hukum, perjanjian yang setara antara para pihak dan penolakan atas isi perjanjian yang sewenang-wenang merupakan pelaksanaan dari asas yang sangat mendasar dalam negara hukum yakni equality before law (kesamaan di depan hukum) dan kebebasan berkontrak.[6] Secara sosial, mengakui hak masyarakat atas tanah dan wilayahnya berarti mencegah konflik sosial di kemudian hari.

Selain itu, ketika FPIC dilaksanakan dan diakomodir dalam produk hukum negara baik di tingkat nasioanal ataupun daerah maka dua persoalan besar, konflik dan kemiskinan, dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesian akan terbantu penyelesaiannya.

Pertambangan ikut menjadi salah satu isu media lokal
Pertambangan ikut menjadi salah satu isu media lokal

Pertama, mencegah konflik

FPIC diperlukan untuk mencegah proses pembangunan yang sifatnya menindas dan mengabaikan hak-hak masyarakat di wilayah pembangunan. Kesewenang-wenangan pengelolaan sumber daya alam pada rejim order baru dan era reformasi telah menuai konflik baik yang sifatnya manifes (terbuka) maupun laten (terselubung). Konflik-konflik tersebut telah merebak dan terus berlangsung hingga kini dengan melibatkan masyarakat, di satu sisi dan pemodal, militer maupun negara di sisi lain. Beberapa contoh bisa disebutkan. Pembantaian enam orang petani Colol, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai, NTT tanggal 10 Maret tahun 2004 oleh kepolisian daerah setempat dipicu oleh perlawanan petani atas pembatatan kopi mereka oleh Pemda.[7] Konflik antara masyarakat adat Kajang dengan PT Lonsum di Kabupaten Bulu Kumba, Sulawesi Selatan pada tanggal 21 Juli 2003 juga mengakibatkan lima orang petani tertembak, dua diantaranya tewas. Lumpur lapindo membuat ratusan ribu orang kehilangan rumah dan kampung halamannya. Freeport membuat Orang Amungme kehilangan wilayah adat dan terlunta-lunta hidup di antara pencemaran limbah tambang. Penanganan konflik-konflik ini selain berlarut-larut juga bersifat parsial yang mana satu konflik dianggap terpisah dari konflik lainnya. Di samping itu, konflik dipahami sebagai musuh sehingga pemerintah gemar menggunakan pendekatan keamananan. Respon demikian selain menghabiskan energi juga membakar sekam konflik laten lainnya yang masih menunggu waktu.[8]

FPIC merupakan konsep yang menekankan pelaksanaan negosiasi yang sederajad antara masyarakat dengan aktor di luarnya. Masyarakat diberi hak penuh untuk menentukan prioritas atas wilayahnya. Singkatnya, masyarakat memiliki kedaulatan atas haknya. Hal itu berarti penolakan masyarakat atas pelaksanaan suatu proyek atau kegiatan pembangunan harus diterima sebagai kewajiban pihak lain (negara dan pemodal).

Banyak fakta menunjukkan bahwa masyarakat bukan anti-pembangunan, tetapi anti terhadap prosesnya yang mengabaikan hak-hak mereka. Inilah yang tergambar dari tanggapan warga yang terkena rencana proyek BKT (Banjir Kanal Timur) yang berhasil ditelusuri Kompas, ”Kami bukan tidak mendukung proyek BKT, tetapi jangan kami dirugikan. Harga riil tanah sekarang ini jauh di atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak),” kata Ketua Suara Warga Terkena BKT (Swaka Bakti) Ibrahim Tri Asworo. ”Untuk biaya mengurus surat pembelian tanah, setidaknya perlu biaya 20 persen dari harga tanah. Apa ini tidak dipikirkan pemerintah?” katanya lagi.[9]

Sepotong pernyataan warga BKT di atas cukup sebagai penjelasan untuk menyatakan bahwa prinsip dan langkah-langkah spesifik untuk melindungi hak-hak masyarakat yang akan terkena pengaruh suatu proyek pembangunan mutlak diperlukan agar hak-hak tersebut tidak dilanggar bahkan diabaikan. Dalam hal ini, negosiasi dengan menggunakan klausula FPIC merupakan salah satu model yang cukup memadai agar hak-hak tersebut dilindungi dan mencegah terjadinya konflik di kemudian hari.

Kedua, pengentasan kemiskinan (poverty alleviation).

Hubungan antara FPIC dengan pengentasan kemiskian sifatnya tidak langsung tetapi sangat dekat satu sama lain. Semua teori sepakat bahwa kekerasan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam pasti menimbulkan kemiskinan. Pembebasan tanah yang merupakan satu-satunya harta masyarakat yang paling berharga tanpa persetujuan akan kompensasi yang memadai, misalnya, menyeret masyarakat dalam lubang kemiskinan yang lebih dalam. Penggusuran kampung sawah di Jakarta beberapa waktu lalu telah menjebloskan warganya dalam derita baru di bawah kolong jembatan. Pembukaan tambang yang luas membuat masyarakat berburu dan nomadik terbelit dalam sempitnya ruang mencari nafkah yang sekaligus berarti berkurangnya kelimpahan alam. Dua orang warga masyarakat Sungkup di Kabupaten Melawi Kalbar yang membuka kebun yang dikuasainya berbasis warisan nenek moyang ratusan tahun silam harus dipenjara karena dianggap melanggar larangan di kawasan hutan. Sekolah anak mereka pun ikut berhenti. Pada poin inilah, pembangunan ekonomi maupun lingkungan yang ditawarkan dari luar dengan segala kebijakannya yang didukung negara justru menciptakan kemiskinan baru yang lebih kejam dan meluas (sosial-budaya) dari pada kemiskinan dalam arti harafiah (sekedar uang).

FPIC membuat hak dasar manusia untuk memilih yang paling baik demi meningkatkan kesejahteraan hidup berada pada tangan masyarakat sendiri. Karena itu, klasula ini setidaknya mempertahankan kemakmuran yang telah dinikmati dan bahkan memberi peluang peningkatan kemakmuran berikutnya.

FPIC dalam Hukum

  1. Hukum Internasional

Dalam bidang lingkungan hidup, terdapat Konvensi Keanekaragaman Hayati (1992), Konvensi Rotterdam mengenai Prosedur Prior Informed Consent untuk Pestisidan dan Jenis Bahan Kimia Berbahaya dalam Perdagangan Internasional (1998).

Pasal 15 ayat 5 Konvensi Keanekaragaman Hayati, misalnya menyebut:

Akses terhadap sumber daya genetika wajib mematuhi prior informed consent dari negara pihak terkait yang menyediakan sumber daya tersebut, kecuali jika ditentukan lain oleh negara pihak yang dimaksud.

Di bidang masyarakat adat, terdapat Konvensi Internasional Organisasi Buruh Internasional No 169 mengenai Masyarakat Suku dan Pribumi atau Masyarakat Adat (1989) atau disebut juga dengan Konvensi ILO 169 dan Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat (2007).

Pasal 16 ayat 2 Konvensi ILO 169:

Jika relokasi terhadap orang-orang ini (masyarakat suku dan masyarakat adat) dirasa perlu sebagai langkah pengecualian, relokasi tersebut hanya bisa dilakukan dengan persetujuan bebas mereka tanpa paksaan. ……

Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat (2007):

Pasal 10Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa FPIC atau persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan.
Pasal 11 ayat 2:Negara-negara wajib melakukan pemulihan melalui mekanisme yang efektif termasuk restitusi, yang dibangun dalam hubungannya dengan masyarakat adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya, intelektual, religi dan spiritual mereka, yang telah diambil tanpa FPIC atau persetujuan bebas dan sadar dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan adat mereka.
Pasal 28 ayat 1Masyarakat adat memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dengan cara-cara termasuk restitusi atau, jika ini tidak memungkinkan, kompensasi yang layak dan adil, atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki secara tradisional atau sebaliknya tanah, wilayah dan sumber daya yang dikuasai atau digunakan, dan yang telah disita, diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa FPIC atau persetujuan bebas tanpa paksaan dari mereka terlebih dahulu.
Pasal 29 ayat 2Negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpangan atau pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas tanah-tanah dan wilayah-wilayah masyarakat adat tanpa FPIC atau persetujuan bebas dan sadar tanpa paksaan dari mereka.
Pasal 32 ayat 2Negara-negara akan berunding dan bekerjasama berdasarkan itikad baik dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan masyarakat adat supaya masyarakat adat dapat menjalankan persetujuan yang bebas tanpa paksaan atau FPIC sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air, dan sumber daya mereka yang lain
  1. Hukum Nasional

Dalam peraturan perundang undangan di tingkat nasional belum ada pengaturan tersendiri tentang FPIC. Pengaturan dilakukan secara terpisah di berbagai peraturan namun belum mencantumkan konsep FPIC secara lengkap. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  • UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Penjelasan dimaksud sekurang-kurangnya mencakup :

  1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
  2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
  3. alternatif tindakan lain dan risikonya;
  4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
  5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
  • UU No 27/2007 tentang pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 60: Pasal 60: Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk :

  1. Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  2. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  3. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
  1. Hukum Daerah
Perda BengkayangNo. 14 Tahun 2002Perda MinahasaNo. 02 Tahun 2002
Pasal 24 (3)Masyarakat lokal berhak untuk mengetahui dan memberi persetujuan atas setiap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan pihak lain sebelum pemberian izin oleh pemerintah daerah.Pasal 24 (3)Masyarakat lokal berhak untuk mengetahui dan memberi persetujuan atas setiap usaha dan kegiatan yang akan dilakukan pihak lain sebelum pemberian izin oleh pemerintah daerah.

Hukum Perdata

Meskipun FPIC belum secara lengkap diadopsi dalam peraturan dalam bidang hukum yang mengatur kepentingan publik. Namun, unsur yang termuat dalam istilah FPIC hampir mirip dengan sarat sahnya perikatan dalam hukum perdata (Pasal 1320 dan 1321 KUHPer). Dalam konsep hukum perdatan, perikatan hanya sah apabila memenuhi empat syarat berikut:

  1. Adanya kata sepakat para pihak
  2. Cakap hukum
  3. Menyangkut suatu hal tertentu (objek perjanjian)
  4. Menyangkut sebab yang halal

Syarat pertama mempunyai arti bahwa para pihak harus memiliki kemauan bebas. Kemauan bebas dianggap tidak ada bila kata sepakat itu diberikan karena adanya kekhilafan, penipuan atau paksaan (1321 KUHPer).

Perjanjian secara perdata yang telah memenuhi empat syarat di atas berlaku sebagai hukum yang mengikat kedua belah pihak. Kehadiran syarat-syarat ini selain untuk menjamin kepastian hukum juga merupakan perwujudan penghargaan atas kebebasan individual yang sangat dihormati dalam hukum eropa. Dalam konteks hak kolektif yang banyak ditemukan pada hukum-hukum lokal masyarakat adat atau komunitas lainnya, syarat-syarat di atas harusnya diberlakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap hak kolektif yang dalam tradisi hak asasi manusia memiliki posisi yang sama dengan hak individual.

Kesimpulan

FPIC merupakan prinsip sekaligus hak yang menjamin hak-hak masyarakat adat maupun lokal diakui dalam setiap rencana pembangunan. Sebagai prinsip, FPIC memberikan panduan yang harus ditaati dan menjadi kerangka hukum yang harus dipenuhi dalam setiap level pengambilan keputusan. Sebagai hak, FPIC melekat dalam setiap masyarakat yang potensial terpengaruh dampak proyek. Statusnya mutlak, tidak bisa diambil dan tidak bisa dikurangi. Karena itu, berkaitan dengan posisi FPIC sebagai prinsip sekaligus hak maka FPIC hanya bisa diterapkan dengan dua asumsi:

  1. Hak masyarakat adat/lokal atas tanah dan SDA secara kolektif diakui oleh negara
  2. Tanah-tanah dan SDA masyarakat adat/lokal yang sudah dilekati hak lain seperti konsesi tambang, dan berbagai ijin lainnya harus direview lagi dalam konteks hak kolektif masyarakat adat/lokal.

Hukum publik di Indonesia, khususnya di bidang sumber daya alam sebagian besar belum mengadopsi FPIC. Namun ada peluang pada hukum perdata, konsep persetujuan bebas tanpa paksaan sudah menjadi kewajiban yang harus ditempuh oleh para pihak yang menjalankan perjanjian secara perdata.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh ke depan adalah mendorong persetujuan bebas tanpa paksaan tidak hanya bergerak di ranah perdata tapi juga masuk dalam hukum-hukum publik seperti sumber daya alam yang mengatur obyek-obyek penghidupan masyarakat.

 

Sumber:

Anne Haira, “Prior Informed Consent, an Introduction”, Med Workshop, 3 April 2006 on WIPO Principles and Policy Objectives for the Protection of Traditional Knowledge, Maori Legal Services Group, Kensington Swan.

Dianto Bachriadi, 2002., “Warisan Kolonial yang tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Lounela A. dan Zakaria, Y. (peny.), Berebut Tanah dalam Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press. Hal. 21-29.

Bernadinus Steni, 2005, Free and Prior Informed Consent dalam Pergulatan Hukum Lokal, HuMa

Fergus MacKay, 2004, “Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior and Informed Consent and the World Bank’s Extractive Industies Review.” Forest Peoples Programme, 2004.

Ifdhal Kasim, I., 2004, Sebuah Pengantar Memahami Jurispruden Studi Hukum Kritis. Makalah pada Lokalatih Studi Hukum Kritis dan Pluralisme Hukum kerjasama Fakultas Hukum Tanjungpura, Pontianak, Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyaraat dan Ekologi (HuMA), Pontianak, 4-5 Agustus.

Kompas, 11 Maret 2004, 15 April 2004

Kompas, 25 Juni 2005

Marcus Colchester & Fergus MacKay, 2004, In Search of Middle Ground: Indigenous Peoples, Collective Representation and the Right to Free, Prior and Informed Consent, FPP

Marcus Colchester, 2006, Keputusan Dini Tanpa Paksaan Berdasarkan Informasi Lengkap Sejak Awal, AMAN

Robert Goodland, The Institutionalized Use of Force in Economic Development: With Special Reference to the World Bank, http://www.goodlandrobert.com/violence.pdf

Martua Sirait, 2005, FPIC: Experience From Sanggau, presentasi pada diskusi FPIC, Crawford Lodge, Bogor.

Martua Sirait, Budi Widjarjo,B., dan Marcus Colchester, “Prinsip 2 & 3 FSC, Sebuah Pedang Bermata Dua.” Dalam Kalimantan Review No. 91, /Th.XII/Maret/2003, hal. 16-17.

The Nuremberg Code (1947) lihat di http://www.cirp.org/library/ethics/nuremberg/Agustus, 2008

Hitler’s plans for genocide: a speech from 1939. lihat di http://www.bmj.com/cgi/content/full/313/7070/1413, download di Jakarta, August, 12, 2008 on 14.56 WIB,

Paul Weindling, “The Origins of Informed Consent: The International Scientific Commission on Medical War Crimes, and the Nuremberg Code”, Bulletin of the History of Medicine 75.1 (2001) 37-71, lihat http://www.geocities.com/travbailey/Paul_Weindling_The_Origins_of_Informed_Consent_Nuremburg_Code.htm, Januari 2009

Web Site:

http://www.pic.int.

http://www.huma.or.id

http://www.un.org

[1] http://www.pic.int.

[2] lihat dalam http://www.un.org, Prior Informed Consent dan http://www.bicusa.org. Lihat juga MacKay (2004).

[3] http://www.un.org, ibid. Lihat juga Marcus Colchester, 2006

[4] Mac Kay dan Colchester (2004).

[5] Lihat Sirait, Widjarjo dan Colchester (2003).

[6] Kedua asas ini menjadi aksioma dalam teori hukum modern. Namun demikian, kritik terhadap prakteknya di lapangan semakin kencang terutama setelah melihat kenyataan bahwa asas-asas ini tidak memeriksa secara serius realitas sosial yang belapis-lapis. Golongan kaya dan miskin tidak mungkin memiliki kedudukan yang sama depan hukum dan mustahil akan mencapai hasil kontrak yang derajad keuntungannya sama. Lihat Kasim (2004).

[7] Kompas, 11 Maret 2004, 15 April 2004

[8] Dalam catatan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), kasus sengketa agraria di Pulau Jawa saja yang terekam adalah 612 kasus, kasus yang terselesaikan 75 kasus, luas lahan 671856,39 hektar. Dari kasus-kasus ini jumlah korban jiwa mencapai 3.080.730 jiwa. Masih ada ratusan kasus lainnya yang menunggu jawaban. Jika tidak segera direspons dengan prioritas bagi kelompok marginal (petani, masyarakat adat, buruh tani, dll) maka pengelolaan sumber daya alam di kemudian hari menjadi awan kelabu yang menampung badai konflik. Lihat siaran pers YLBHI, WALHI, KSPA, ELSAM, 9 Mei 2005 dan Bachriadi (2002).

[9] Kompas 25 Juni 2005.

Bahan dapat dibaca juga di: http://reddandrightsindonesia.wordpress.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea