Masyarakat Adat Rampi Menolak Beroperasinya Perusahaan Tambang

Laporan: Rais dari Masamba

“Wilayah Rampi adalah hidup kami, jika wilayah Rampi ingin dirampas oleh pemerintah dan perusahaan tambang maka rampaslah bersama nyawah kami sekaligus” (Yeyasa, Sekretaris PD AMAN Rampi, di Masamba, 27 Oktober 2013)

Wilayah Masyarakat Rampi  ibarat diserbu perusahaan tambang. Tercatat ada dua perusahaan tambang yang sudah mengantongi izin eksplorasi, ditambah aktivitas puluhan penambangan liar yang bebas mengeruk perut bumi Rampi. Masyarakat Adat Rampi-pun tidak tinggal diam. Mereka akan menyampaikan penolakannya terhadap perusahaan tambang yang bakal beroperasi di wilayahnya.

Pada dasarnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Gubernur,  Bupati dan  Walikota,-red)  diberi kewenangan untuk memberikan izin tambang kepada perorangan, koperasi, dan perusahaan. Akan tetapi, tidak dengan mudah pemerintah dapat memberikan izin kepada perusahaan pertambangan tanpa ada persetujuan dari masyarakat setempat. Belum lagi, prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin bagi perusahaan tambang dengan melihat  dampak lingkungan dan dampak sosial ekonomi masyarakat setempat. Namun demkian, permasalahan seringkali  muncul ketika hal tersebut  dilakukan secara sepihak dan tetap dipaksakan. Dalam hal ini, pengambilan keputusan atau pemberian izin pertambangan bukanlah  kesewenang-wenangan pemerintah.

Tiga kriteria yang perlu diperhatikan, terkait faktor lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar usaha pertambangan tersebut, yaitu: Pertama,  memperhatikan perlindungan hukum dan kepentingan masing-masing pihak. Kedua, mengetahui secara jelas potensi ancaman terhadap hak-hak masyarakat yang bersumber dari rusaknya lingkungan hidup dan dampak lanjutannya. Ketiga, bagaimana potensi ancaman terhadap masa depan kesejahteraan hidup manusia yang ada di wilayah tersebut.

Selain itu  perlu diingat bahwa ada beberapa permasalahan lingkungan  yang dapat ditimbulkan oleh perusahaan tambang, antara lain: dalam  waktu  yang  relatif singkat dapat mengubah keadaan  muka tanah dan bentang alam, dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya, berpotensi  menimbulkan  tanah longsor, gempa, pencemaran lingkungan udara akibat  debu  dan asap,  serta  pencemaran air akibat limbah atau buangan tambang yang mengandung  zat-zat  beracun.

Dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang nantinya dapat ditimbulkan oleh perusahaan tambang, maka dalam pertemuan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Rampi (PD AMAN Rampi), Ikatan Pemuda Mahasiswa Rampi (IPMR), dan Perkumpulan Wallacea Palopo di Masamba Kabupaten Luwu Utara pada hari minggu (27/10/13), Masyarakat Adat Rampi dengan tegas menolak secara keseluruhan kegiatan pertambangan yang ada di Rampi. Sikap penolakan tersebut disertai tanda tangan penolakan warga dan akan disampaikan langsung oleh Tokoh Adat  Rampi sebagai perwakilan pada  pertemuan dengan Pemkab Luwu Utara dan PT. Kalla Arebama yang akan dilaksanakan pada 29 Oktober 2013.

Wilayah Rampi ‘Diserbu’ Perusahaan Tambang

Seperti diketahui,  dua perusahaan tambang yang mengantongi izin eksplorasi di wilayah Rampi, yaitu PT. Kalla Arebama dan PT Citra Palu Minerals sehingga pada pertemuan  pada tanggal 29 Oktober 2013 yang akan datang, Masyarakat Adat Rampi  akan menyampaikan pernyataan sikap penolakannya terhadap dua perusahaan tambang tersebut.

Bukan hanya itu,  masyarakat juga akan menyampaikan kepada Pemkab Lutra agar menghentikan dan mengusir penambang liar yang sekarang beroperasi di wilayah Rampi.  ‘’Jika itu tidak dilakukan oleh pemerintah daerah (PEMDA) maka Masyarakat Adat Rampi sendirilah yang akan mengeluarkannya,’’ kata Pendeta Yahya Chalvin Sigi  yang juga Ketua Pengurus Daerah (PD) AMAN Rampi.

Alasan Masyarakat Adat Rampi menolak tambang di wilayahnya, yaitu: pertama; masyarakat Rampi selama ini hidup dan menyekolahkan anak-anaknya dengan beternak hewan, jika perusahaan tambang masuk maka masyarakat Rampi tidak akan bisa lagi beternak hewan dengan baik karena lingkungan akan rusak bahkan bisa jadi hewan-hewan yang selama ini dijadikan ternak akan punah. Kedua; masyarakat Rampi meyakini bahwa dengan adanya tambang maka Rampi ke depan akan tenggelam, bahkan daerah hilir yang berbatasan dengan Rampi seperti Mamuju dan  Palu  akan ikut tenggelam. Ketiga; wilayah Rampi tidak layak huni lagi jika ditambang karena sedikit demi sedikit akan menyempit sementara kita tidak sedang berbicara tentang hari ini esok dan lusa melainkan kita sedang berbicara untuk anak cucu kita, untuk dua puluh tahun mendatang.

‘’Jadi penolakan masyarakat Adat Rampi tidak semata-mata atas dasar  kemanusiaan dan kelestarian lingkungan di Wilayah Rampi, akan tetapi  juga  kepentingan wilayah tetangga yang berbatasan langsung dengan Rampi. Hal ini yang patut dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara,’’ tegas Ketua PD AMAN Rampi Pendeta Yahya Chalvin Sigi.#

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea