Sekilas Tentang Kecamatan Seko
Oleh: Rais Selle (Koordinator Data Base dan Kampanye)

Secara Geografis Masyarakat Adat Seko menempati Daerah Dataran Tinggi yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Tana Seko terbagi atas 3 (tiga) wilayah besar yaitu; Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo dan 9 (sembilan) wilayah hukum adat yaitu; Hono’, Turong, Lodang, Seko Rampi, Pohoneang, Amballong, Hoyyane, Kariango dan Beroppa’.
Kesembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, wilayah yang jelas, menerapkan hukum adatnya secara otonom. Dalam pengambilan keputusan secara keseluruhan “Sang Sekoan” ditempuh dengan cara musyawarah sehingga di Tana Seko, keputusan tertinggi adalah berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dihadiri oleh Tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah setempat.
Dalam proses panjang perkembangan masyarakat adat seko tentunya sama dengan masyarakat adat yang lain. sejak zaman kolonial belanda, zaman jepang, zaman kemerdekaan, zaman orde baru hingga saat ini tentunya ada banyak persoalan yang datang silih berganti dihadapi oleh masyarakat adat seko.
Dalam melewati beberapa zaman tersebut, pahit manisnya kehidupan betul-betul sangat dirasakan oleh masyarakat adat seko, kerja rodi yang diberlakukan oleh belanda, susahnya mendapat pakaian pun dirasakan saat masuknya tentara jepang pada tahun 1942, bahkan masayarakat adat seko saat itu hanya bisa menggunakan kain yang terbuat dari kulit kayu.bukan hanya itu, di zaman jepang masyarakat adat seko pun mengenal yang namanya adu fisik antar sesama akibat arogansi tentara jepang yang sangat mengutamakan perkembangan fisik.
Sesaat, masayarakat adat seko pernah merasakan ketenangan di zaman kemerdekaan tahun 1945 hingga tahun 1953, Masyarakat Adat Seko mulai mengalami suatu ketenangan karena dengan adanya jaminan keamanan dari Pemerintah Republik Indonesia yang dibantu oleh masyarakat. Masyarakat Adat Seko mulai melakukan aktivitas sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam bentuk berladang, sawah, perkebunan kopi, kolam ikan dan berburuh yang diatur secara adat. Namun apa boleh buat semua itu hanya dirasakannya sesaat, karena pada saat DI/TII masuk melakukan eksvansi, masyarakat adat seko kembali merasakan penderitaan. pengungsian masyarakat adat seko hingga kewilayah mamuju serta kehancuran lembaga adat pun terjadi, bahkan parahnya terjadi penangkapan beberapa tokoh-tokoh masyarakat yang berujung pada pembunuhan dengan cara keji tanpa ada satupun alasan yang jelas.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 1968 (zaman ORBA) yang merupakan babak baru bagi masyarakat seko kembali dari pengungsian terutama bagaimana mempertahankan budaya orang Seko diantaranya budaya pertanian, berladang, serta upaya menata kembali kelembagaan adat yang hancur sama sekali akibat pemberontakan DI/TII. Akan tetapi dalam proses itu, Kembali lagi masyarakat adat seko harus berhadapan dengan intervensi pemerintah yang memaksakan kehendaknya melalui kebijakan pemerintahan desa. Akibat arogansi dari sestem pembangunan yang diterapkan oleh rezim soeharto pada saat itu masyarakat adat seko semakin tersisihkan, mereka dianggap primitif, perambah hutan, terpencil, dan penerapan hukum adat yang dilakukan acap kali dianggap sebagai penghambat pembangunan oleh pemerintah. Independensi lembaga adat dihilangkan serta hukum-hukum adat terus menerus di intervensi oleh negara yang menggunakan tangan-tangan jahil elit lokal.
Apa yang dirasakan oleh masyarakat adat seko dari zaman ke zaman merupakan gejala yang terjadi secara merata di penjuru tanah air. suatu sikap arogansi yang dipertontonkan oleh negara dalam memperlakukan rakyatnya, negara tidak lagi hadir sebagai penyelamat bagi rakyatnya melainkan negara sering kali hadir sebagai penindas dan merampas tanah-tanah rakyat dikampung-kampung atas nama hukum. Semuanya dirasakan oleh masyarakat adat seko, dimana Tahun 1985 PT. Seko Fajar mulai mengkafling tanah-tanah adat Orang Seko dengan cara sertifikasi kepemilikan (HGU) untuk rencana perkebunan Teh. Dampak dari HGU oleh PT. Seko Fajar ini mengakibatkan keresahan yang berinplikasi kepada perampasan tanah-tanah adat yang secara turun temurun telah dimanfaatkan oleh Orang Seko.
Selain itu Tahun 1995 – hingga sekarang, permasalahan besar yang dirasakan oleh masyarakat adat Seko adalah masuknya HPH oleh PT. Kendari Tunggal Timber (KTT) yang langsung mengeksploitasi hutan-hutan terutama hutan damar yang secara turun temurun telah di kelola oleh Masyarakat Adat Seko. Dampak yang dirasakan oleh Masyarakat Adat Seko dengan masuknya PT. KTT antara lain; keresahan batin yang terus menerus dirakasakan karena hutan bagi masyarakat adat Seko adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sendi-sendi kehidupan, pohon-pohon damar yang selama ini dilindungi sebagian besar telah di eksploitasi.
Berangkat dari kenyataan tersebut diatas, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwasanya Negara tak lagi bisa memenuhi janjinya sebagaimana yang tertera dalam kitab UUD 1945. Peradilan negara sebagai sarana seringkali membenarkan perampasan tanah. Lalu kemana orang kampung mesti mengadu, bila negara yang sejak diproklamasikan tahun 1945 banyak sekali mengingkari janji-janjinya? Apa yang mesti dilakukan agar kedaulatan rakyat bisa direbut kembali serta bagaimana caranya agar keadilan bisa dihadirkan hingga dikampung-kampung? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya harus kita jawab berasama. Karena itu penting bagi kita untuk terus melakukan pendokumentasian historis masyarakat adat seko untuk dijadikan sebagai bukti autentik, bahwa saesungguhnya masyarakat dengan segala perangkat hukum lokalnya bisa merasakan yang namanya keadilan, dengan segala kearifan lokalnya bisa memanfaatkan, menjaga dan melestarikan lingkungan secara baik dan benar. Tidak boleh ada diskriminasi bagi masyarakat manapun termasuk Seko, pengakuan terhadap lembaga adat, wilayah adat serta hukum-hukum adat harus diberikan oleh negara. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu hakikat berdirinya sebuah negara adalah dengan menghargai masyarakatnya. (*)
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World