ATR/BPN Palopo Akan Konsolidasikan Usulan LPRA Battang Barat

PERKUMPULANWALLACEA.WORDPRESS.COM, PALOPO – Menindaklanjuti usulan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di wilayah kerja Kantor Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Palopo, beberapa stafnya berkunjung ke Kantor Perkumpulan Wallacea didampingi Lurah Battang Barat dan Tokoh Masyarakat pada hari Rabu (08/09).

Kehadiran pihak ATR/BPN Kota Palopo untuk diskusi dan sharing informasi sekaligus assesment dari usulan penanganan konflik agraria di Indonesia yang terungkap saat pertemuan antara CSO dengan pimpinan Kantor Staf Presiden (KSP) beberapa waktu lalu (02/02/2021). Sebelumnya, terbilang sudah kali kedua pertemuan penyelesaian konflik agraria tersebut bergulir antara CSO dan KSP yaitu pada 23 Desember 2020, kemudian 8 Januari 2021.

Pada diskusi di Kantor Perkumpulan Wallacea itu, perwakilan dari Kantor ATR/BPN Kota Palopo, Siti Ardillah menyampaikan, jika dalam waktu dekat akan ada rapat integrasi antara ATR/BPN dengan Walikota Palopo terkait usulan LPRA, termasuk mendelinasi dan mensinkronisasikan data-data yang sudah diterima. “Melalui pertemuan ini, kami harap teman-teman Perkumpulan Wallacea bisa turut hadir. Mengenai jadwal integrasi tersebut akan kami konfirmasi kembali,” harap Siti Ardillah.

Perwakilan dari Kantor ATR/BPN Kota Palopo saat diskusi di Kantor Perkumpulan Wallacea

Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), usulan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan sebagai lokasi LPRA merupakan satu dari 23 lokasi LPRA yang tersebar di berbagai provinsi.

Bagi KPA, Battang Barat termasuk kriteria penanganan tahap pertama tahun 2021 diantara enam lokasi secara nasional dengan menunjuk Perkumpulan Wallacea sebagai lembaga pendamping di tingkat lokal. Alasan penentuan prioritas penanganan tahap pertama dengan memperhatikan aspek lama penguasaan lahan baik sebelum maupun sesudah penunjukan kawasan hutan, kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan lahan, fungsi lahan dan kondisi penutupan lahan.

“Berdasarkan hasil pemetaan lapangan kami, baik spasial maupun sosialnya, kami sudah memetakan secara persil dengan metode pemetaan partisipatif dibantu oleh warga terutama Pak Sainal Ahmadi dan Daming Amu’. Penyelesaiannya memakan waktu sekitar dua bulan karena adanya tuntutan dari KPA supaya datanya rampung pada akhir Februari 2021 lalu,” jelas Hamsaluddin.

Kelengkapan data LPRA Battang Barat tersebut sudah detail dalam bentuk persil berdasarkan Kepala Keluarga (KK), dan informasi dari survey lapangan termasuk pemetaan menggunakan drone (pesawat tanpa awak). Format pendataan yang dipakai itu sesuai format ATR/BPN.

Muh. Ikhwan, Lurah Battang Barat turut hadir dalam pertemuan di Kantor Perkumpulan Wallacea

Salah satu hasil dari pemasukan berkas LPRA tersebut, mendasari Kantor Staf Presiden (KSP) menerbitkan surat pertanggal 12 Maret 2021 Nomor: B-21/KSK/03/2021 tentang Permohonan Perlindungan Terhadap Lokasi-lokasi Prioritas Penyelesaian Konflik Agraria Tahun 2021.

Menurut Zainal Ahmadi, tokoh masyarakat Battang Barat yang juga mengawal proses penyelesaian usulan LPRA Battang Barat selama ini menaruh harapan besar adanya hasil dari usulan masyarakatnya sebagai bentuk kepastian hak dari pemerintah. Masyarakatnya sudah turun temurun bermukim di lokasi itu, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia merdeka.

Bagi masyarakat, sambung Pak Wiwi panggilan akrab Zainal Ahmadi, mereka mengelola wilayahnya sesuai kearifan lokal yang secara turun temurun. Dimana tidak semua lokasi atau lahan di Battang Barat diperbolehkan membangun, bahkan dikelola. ‘’Kami tetap memperhatikan kontur alam. Lahan orang Battang Barat sangat sedikit dibanding lahan dengan orang luar yang datang. Kami hanya butuh kepastian hak dan mengeluarkan dari kawasan,” pintanya.

Pilihan warga Battang Barat menuntut kepastian haknya bukan sekedar legal akses karena menghindari terulangnya konflik masa lalu. Sebelumnya ada upaya relokasi dari pemerintah baik skema transmigrasi dan relokasi pasca longsor, tetapi semua gagal. ‘’Dua pendekatan ini gagal karena karakter, dan skill dari warga sekitar karena memang sudah terbiasa dengan pegunungan,’’ tambah Zainal Ahmadi.

Warga Battang Barat telah berjuang selama 13 tahun lamanya. Terakhir skema yang ditempuh untuk memperjuangkan pengakuan hak atas tanah mereka dengan mengusulkan pelepasan dari kawasan hutan melalui peluang Revisi RTRW Provinsi Sulsel pada tahun 2014.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea