Konflik Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam
Oleh :SAINAL ABIDIN
(Direktur Eksekutif Perkumpulan WALLACEA Palopo)
Di era repormasi, masa setelah lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan di bulan Mei 1998, segenggam harapan muncul dari berbagai kalangan termasuk aktivis gerakan social dan massa rakyat yang berjuang untuk memperoleh keadilan dalam penguasaan agraria akan terbukanya peluang untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketidak adilan penguasaan tanah dan sumber-sumber alam yg merupakan warisan dari rezim sebelumnya. Praktek dan kebijakan agraria pada masa orde baru itu telah memicu berbagai konflik yg tingkat intensitasnya maupun skalanya terus meningkat dan meluas setiap tahun. Pergantian rejim diakhir tahun 1990-an itu, dilihat sebagai peluang untuk mengusung agenda bagi penyelesaian mendasar dari sengketa dan persoalan ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan tanah dan sumber-sumber alam lainnya. Berbagai upaya untuk mempengaruhi wacana publik dan mengetuk rasa peduli para pembuat kebijakan dilakukan dengan cara menggelar berbagai pertemuan, menerbitkan berbagai publikasi, melakukan pendidikan dan training, termasuk juga mengorganisir berbagai aksi massa diberbagai kota yang melibatkan berbagai elemen baik dari massa rakyat korban konflik agraria maupun berbagai ornop dan pihak-pihak lainnya yang peduli. Disamping itu, massa rakyat di pedesaan juga tidak tinggal diam. Gerakan reclaiming dan okupasi lahan atas tanah-tanah perkebunan dan kehutanan mereka lakukan. Sebahagian dari gerakan ini merupakan upaya dari organisasi-organisasi tani yg tumbuh menjamur setelah pergantian politik nasional yg memberikan mereka peluang kebebasan berorganisasi. Namun, lebih banyak lagi sebenarnya dari gerakan-gerakan itu yang merupakan usaha spontan dari rakyat sendiri.
Berbagai upaya untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah yg baru memang membuahkan hasil. Hal ini terutama dapat dilihat dari diagendakannya kembali pembahasan tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebagaian dari aktivis gerakan social (LSM/Ornop) melihatnya sebagai momentum yang perlu dimasuki. Upaya pengawalan dilakukan antara lain dengan membentuk aliansi Ornop untuk Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ( Pokja PA-PSDA ). Walaupun tidak semua usulan Pokja PA-PSADA tersebut diakomodir, tetapi tekanan dan lobi-lobi yg mereka lakukan punya peran penting dalam melahirkan TAP MPR IX / 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Memang tidak semua elemen gerakan agraria setuju dengan strategi Pokja PA-PSDA untuk mendorong lahirnya TAP MPR ini ( Lucas & Waren, 2003 ). Mereka yg tidak setuju mengkritik bahwa TAP MPR akan digunakan oleh kelompok-kelompok “ Anti – Reform “ (baca: pro-pasar bebas) untuk menyusupkan agenda neoliberal mereka karena TAP MPR ini dianggap dapat melancarkan jalan untuk mengusulkan perubahan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 1960 ( Ya’kub, 2004 ). Namun bagi mereka yang mendukung strategi perjuangan aliansi yang mendorong lahirnya TAP MPR ini, meskipun menyadari sejumlah kelemahan yang terkandung didalamnya, tetap menilai bahwa lahirnya TAP MPR ini penting karena secara politis telah berhasil memperkuat legitimasi gerakan tani untuk menuntut kebijakan pembaharuan agraria kepada pemerintah. Beberapa kelompok tani seperti Serikat Petani Pasundan (SPP), contohnya dinilai cukup berhasil menggunakan TAP MPR ini dalam upaya mereka mendesak pemerintah daerah untuk melaksanakan pembaharuan agraria ( Fauzi, 2004; Setiawan, 2004 ).
Terlepas dari adanya perbedaan dalam melihat posisi dari TAP MPR itu, yang terpenting adalah dalam kenyataan setelah lebih dari lima tahun berlalu sejak perubahan politik terjadi di akhir 1990-an, dari sudut para pandang aktivis yang mendorong agenda reforma agraria melihat bahwa pada dasarnya kebijakan yang dihasilkan tidaklah seperti apa yang diharapkan. Padahal selama itu pula telah terjadi empat kali perubahan kepemimpinan negara dimulai dari pemerintahan transisi BJ. Habibie yg kemudian melalui pemilu 1999 digantikan oleh pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Namun pemerintahan presiden Gus Dur ternyata hanya sempat bertahan 2 tahun karena dilengserkan melalui proses impeachment pada tahun 2001, yang kemudian diteruskan oleh Megawati. Dimasa transisi politik dari Gus Dur ke Megawati inilah TAP MPR itu disahkan. Masa pemerintahannya yang berjalan 3 tahun hingga pemilu dilaksanakan pada tahun 2004. lewat pemilu inilah kepemimpinan Megawati digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono setelah memenangkan pemilihan presiden langsung oleh rakyat pada bulan juli 2004.
Di tiap masa kepresidenan itu, berbagai upaya untuk mendorong agenda reforma agraria dilakukan namun hasilnya tidaklah seperti apa yang semula dibayangkan dan diharapkan. Pada awalnya harapan besar tertumpu pada masa pemerintahan Gus Dur. Apalagi secara pribadi, komitmen Gus Dur terhadap dilaksanakannya reforma agraria cukup besar.
Salah satu contoh adalah pidato historis Gus Dur sewaktu membuka Kongres Pengelolaan Sumber Daya Alam pertama di Jakarta di tahun 2000. Dalam pidato tersebut Gus Dur melontarkan pernyataan yang mengundang Kontroversi dimana menurutnya setidaknya 40 persen dari lahan lahan perkebunan besar sesungguhnya dirampas dari tanah-tanah rakyat, oleh sebab itu harus di redistribusi kembali kepada petani. Pernyataan yang punya dampak politis sangat besar ini disambut dengan antusias oleh massa rakyat bawah yang kemudian menyikapinya dengan cara meningkatkan gerakan reclaiming dan okupasi lahan-lahan perkebunan besar yang dianggap bermasalah.
Namun, belumlah sempat pemerintahannya ini melakukan berbagai kebijakan yang lebih mendasar, presiden Gus Dur sudah keburu diganti oleh presiden Megawati pada tahun 2001. Tumbuh harapan besar bahwa Megawati akan melaksanakan keputusan TAP MPR IX/2001. Hal ini terutama karena partai yang menjadi basis pendukungnya, yaitu PDIP-Perjuangan, terkenal karena mengklaim dirinya sebagai “partai wong cilik.” Selain itu, sebagai anak dari mendiang presiden pertama RI, Soekarno, Megawati diharapkan oleh banyak pihak termasuk aktivis gerakan social untuk lebih berpihak pada cita-cita bapaknya yang populis dan nasionalis itu. Bukankah kebijakan Land reform yang tertuang dalam UUPA 1960 itu adalah kebijakan yang dijalankan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno berkuasa ?
Setelah didesak oleh berbagai pihak untuk menindaklanjuti ketetapan TAP MPR No. IX/2001, Megawati akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada Tanggal 31 Mei. Namun, sementara implementasi dari Keppres ini berjalan, pemerintahan Megawati dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mendorong terbitnya berbagai kebijakan sektoral baru terlepas dari protes yang dilancarkan oleh berbagai aktivis gerakan social, beberapa organisasi tani, dan berbagai pihak yang tidak setuju karena sejumlah perundang-undangan ini dianggap lebih pro privatisasi dan investor.
Sebagai contoh Undang-Undang Perkebunan yang disahkan pada bulan juni 2004, meski sebelum pengesahannya didemo ribuan petani (Tempo Interaktif, 8 Juli 2004). Atau, penerbitan Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang banyak diprotes berbagai pihak karena banyak mendorong adanya privatisasi air. Masih di tahun 2004 juga disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 yang mengisinkan eksploitasi tambang di hutan lindung yang sebenarnya melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ternyata, apa yang kemudian dihasilkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional), sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menjalankan Keppres 34/2003 itu banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari mereka-mereka yang telah mendorong lahirnya TAP MPR itu. Mereka mengkritik bahwa rancangan peraturan yang diajukan BPN dinilai sebagai usaha untuk mengganti UUPA 1960 dan bukan hanya sekedar melakukan “penyempurnaan” seperti yang diamanatkan dalam Keppres itu. Dari berbagai lobby dan nota protes yang dilayangkan kepada Presiden Megawati ditambah dengan berakhirnya masa pemerintahannya mengakibatkan hasil rumusan BPN telah masuk kotak alias tidak sempat berlanjut untuk dibahas di DPR.
Cerita dari Alam
- Film Dokumenter
- Insights
- Komunitas Lokal
- Kreatifitas
- Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat
- Media Rakyat
- Membangun Gerakan Rakyat
- Mitra Perkumpulan Wallacea
- Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan Hukum Rakyat
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Agraria
- Pengetahuan Ekologi Tradisional
- Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif
- Perkumpulan Wallacea
- Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak
- Radio Komunitas
- Wallacea
- World