Pembaharuan Hukum Daerah di Wilayah Tanah Luwu

Sebuah Tinjauan

Antara Harapan Dan Kenyataan

Oleh :  Sainal Abidin*)

Sainal Abidin (Direktur Ekeskutif Perkumpulan Wallace)

Produk Kebijakan di wilayah Luwu dalam hal ini; Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur. Secara umum produk hokum daerah yang ada baik usulan dari Eksekutif ataupun atas inisiatif Legislatif yang kemudian dijadikan atau disahkan menjadi Produk Hukum Daerah  (Perda) dilihat dari segi Orientasi maupun motif lebih diarahkan pada Pencapaian atau Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), wujud dari produk hokum ini isinya hanya Tiga suku kata yaitu; Pajak, Iuran dan Retribusi. Secara kuantitas prosentasenya mencapai 90 % dari total keseluruhan produk hokum daerah (Perda) yang ada. Sementara yang lain menyangkut soal Tata Laksana Organisasi Pemerintahan serta menyangkut soal Layanan Publik.

Gambaran diatas menunjukkan bahwa Produk – Produk Hukum Daerah di wilayah ini secara substansi lebih menekankan pada kewajiban masyarakat semata, sementara hal-hal yang menyangkut pengaturan akan pemenuhan Hak-Hak dasar masyarakat yang menjadi kewajiban Negara sangat minim. Atau dengan kata lain bahwa tidak ada keseimbangan pemenuhan antara Hak dan Kewajiban bagi warga Negara atau masyarakat.

Sementara itu Organisasi Masyarakat Sipil yang ada di wilayah ini aktif mendorong beberapa kebijakan yang secara kuantitas sangat kecil jumlahnya antara lain ;

  1. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Isitiadat  Dan Lembaga Adat;
  2. SK Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 Tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko;
  3. Perda DAS Lamasi No. 9 tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Daerah Aliran Sungai Lamasi;
  4. SK Bupati No. 14 tahun 2006 yang isinya mengesahkan serta menunjuk kepada Dinas terkait dalam hal ini Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Kabupaten Luwu guna mengatur dan menjabarkan secara teknis dan rinci pelaksanaan Perda DAS tersebut;
  5. Perda Pelayanan Publik tentang Transparansi dan Informasil Publik di Kota Palopo Tahun 2010 yang ditindaklanjuti dengan keluarnya; SK Walikota tentang Pembentukan Kelembagaan dan Tupoksi Komisi Transparansi Publik (KTP) Kota Palopo;

Produk-produk hukum ini didorong atas prakarsa masyarakat yang dimediasi ataupun difasilitasi oleh kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil di wilayah ini, dimana dari segi motif/orientasi dan subtansi, kecenderungannya lebih menekankan pada aspek; Perlindungan, Penghargaan serta Pemenuhan hak-hak warga negara atau masyarakat.

Peta Kawasan Hutan, Moratorium, Tambang dan Komunitas di Wilayah Luwu Raya

Dengan demikian tergambar dengan jelas dan tegas bahwa produk hukum daerah yang bersumber dari masyarakat baik motif/orientasi maupun subtansinya berbeda dengan produk hukum daerah yang bersumber atau atas prakarsa Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) yang motifnya lebih didominasi pada pencapaian peningkatan pendapatan daerah dimana produk kebijakan dijadikan sebagai alat legitimasinya.

Perbedaan sumber atau prakarsa lahirnya sebuah produk hukum daerah (Perda) antara masyarakat dgn pemerintah, juga menunjukkan perbedaan kepentingan yang sangat tajam bahkan dapat dikatakan saling berseberangan. Hal ini dapat kita tinjau mulai dari tahap proses penyusunannya sampai pada tahap inplementasinya.

Produk kebijakan daerah yang diprakarsai olehmasyarakat bersama Organisasi Masyarakat Sipil mulai dari proses perancangan, penyusunan sampai pada penetapannya tidak hanya membutuhkan waktu yang relative lebih lama, tetapi juga cenderum mendapat hambatan – hambatan secara politik, karena produk kebijakan ini, berbeda dari segi kepentingan, motivasi/orientasi dan substansi, perbedaan tersebut berdampak pada tataran implementasinya. Produk kebijakan yang bersumber dari prakarsa masyarakat bersama organisasi masyarakat sipil seringkali tidak mendapat perhatian serius, bahkan cenderum diabaikan dan tidak dilaksanakan/diterapkan secara baik atau maksimal. Kalaupun hal tersebut diimplementasikan hal ini bukan atas dasar kesadaran bahwa hal tersebut sebagai suatu kewajiban bagi pemerintah untuk menjalankannya, melainkan sangat dipengaruhi oleh political will pejabat serta kepentingan politis pragmatisnya. Dilain sisi bagi masyarakat kekuatan untuk terus mendesakkan serta mengawal sampai pada tahap inplementasi berada diluar jangkauan dan kewenangan mereka.

Gambaran tersebut diatas dapat kita lihat dari produk-produk kebijakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dan organisasi masyarakat sipil diwilayah ini seperti; Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Isitiadat  Dan Lembaga Adat; SK Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 Tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko; Perda DAS Lamasi No. 9 tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Daerah Aliran Sungai Lamasi; SK Bupati No. 14 tahun 2006 yang isinya mengesahkan serta menunjuk kepada Dinas terkait dalam hal ini Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Kabupaten Luwu guna mengatur dan menjabarkan secara teknis dan rinci pelaksanaan Perda DAS.

Peta Kawasan Hutan, Moratorium, Tambang dan Komunitas di Wilayah Luwu Raya

Perda-perda ini pada kenyataannya tidak menjadi bagian yang integral dalam berbagai kebijakan pemerintah, bahkan tidak menjadi pertimbangan ataupun konsideran dalam penyusunan/membuat kebijakan yang terkait pada lokasi/wilayah yang menjadi obyek serta subyek perda tersebut. Sebagai contoh Perda DAS Lamasi sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan Bupati Luwu untuk mengeluarkan ijin pertambangan di hulu DAS Lamasi, Perda dan SK Kabupaten Luwu Utara, pun menapikan keberadaan masyarakat adat seko dengan dengan mengeluarkan izin rencana pertambangan diwilayah tersebut.

Sebagai penutup tulisan ini, tanpa bermaksud untuk mengecilkan upaya – upaya tersebut, dimana penulis bersama dengan kawan-kawan merupakan bagian dari upaya tersebut, kiranya perlu bagi kita merenung untuk mempertanyakan efektivitas Produk-produk kebijakan daerah ini untuk dijadikan pegangan sebagai salah satu jawaban terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat, sejalan dengan itu, evaluasi dan otokritik guna lebih mengkaji dan mempertajam untuk melihat kelemahan-kelemahan yang mungkin serta bentuk-bentuk intervensi yang dibutuhkan agar prakarsa dan inisiatif – inisiatif mendorong suatu peroduk kebijakan daerah baik yang sudah ada maupun inisiatif baru, tidak bernasib sama ataupun berakhir dan hanya sekedar tercatat dalam lembaran dokument kebijakan daerah saja.

* Direktur Eksekutif Perkumpulan Wallacea Palopo dan Anggota Perkumpulan HuMa Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Kami

Hubungi kami dengan kontak langsung Atau Via Medsia Sosial perkumpulan Wallacea